Scroll untuk baca artikel
Blog

Didik J Rachbini: Diplomasi RI Terkesan Lembek

Redaksi
×

Didik J Rachbini: Diplomasi RI Terkesan Lembek

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Didik J. Rachbini menyatakan bahwa diplomasi RI saat ini terkesan lembek, bisa jadi akibat Indonesia seperti telah terafiliasi atau menjadi subordinasi secara ekonomi maupun politik ke negara tertentu, khususnya China.

Hal itu disampaikannya pada diskusi Forum Ekonomi Politik Didik J. Rachbini yang bertajuk “Evaluasi Kebijakan Luar Negeri dan Diplomasi RI: Ekonomi, Pembangunan dan Gender” melalui platform twitter space, Selasa, 21/12/2021.

Ia membandingkan dengan diplomasi RI di masa lalu pada jaman Menteri Luar Negeri Ali Alatas, sangatlah kuat dan teguh dalam prinsip bebas aktif. Politik luar negeri Indonesia ketika itu punya peran yang berwibawa dan sangat dihormati baik di lingkup ASEAN ataupun dunia internasional.

“Hal mana sebetulnya afiliasi ekonomi politik seperti ini sangat merugikan Indonesia. Dalam hubungan ekonomi dengan Cina, Indonesia mengalami defisit besar, yang memperlemah ekonomi nasional karena barang impor apa pun masuk Indonesia dengan tak terkendali tanpa kebijakan proteksi,” ujarnya

Pada saat ini lanjut Didik, terlihat Amerika Serikat (AS) berusaha untuk merebut Indonesia dari pengaruh China. Namun upaya AS menjadi agak sulit karena pengaruh Cina cukup kuat, afiliasi politik domestik berubah arah.

“Masalah diplomasi luar negeri RI cukup banyak, tetapi muncul hal-hal yang lucu, di mana China tiba-tiba memberi peringatan keras kepada Indonesia agar tidak lagi mengeksploitasi minyak laut lepas di blok Natuna. Padahal, blok Natuna adalah wilayah kedaulatan Indonesia. Respons Indonesia dalam hal ini lemah dan tidak terlihat tegas,” sambungnya.

Berdasarkan hal-hal di atas Didik menegaskan, menjadi penting untuk dievaluasi politik luar negeri dan diplomasi Indonesia setahun terakhir, terutama dalam isu pembangunan, ekonomi dan gender.

Dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy, Atnike Sigiro mengungkapkan bahwa studi yang membahas perempuan dalam politik luar negeri masih sangat marginal. Representasi aktor perempuan masih sangat sedikit jika dilihat dari perwakilan Indonesia di negara-negara ataupun lembaga-lembaga internasional atau multilateral.

“Dari sekitar 90 lebih duta besar Indonesia, hanya 15 di antaranya adalah dubes perempuan. Artinya perempuan yang berhasil meniti jenjang karir di dunia diplomasi masih sangat sedikit. Meskipun Menteri Luar Negeri RI sekarang adalah perempuan,” katanya.

Menyinggung tentang kerjasama menurut Atnike Indonesia pada beberapa lembaga multilateral semisal ASEAN yang hanya 10 negara, Indonesia semestinya bisa lebih bersuara pada persoalan-persoalan gender.

“Lagipula ASEAN sudah memiliki ASEAN Commission on The Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) di Sekretariat ASEAN, Jakarta. Tetapi peran lembaga tersebut di ASEAN masih marginal. Padahal di masa pendemi sekarang, perempuan sudah diakui oleh dunia internasional sebagai sosok yang memikul beban lebih banyak di rumah tangga, dari soal pendidikan anak sampai pada urusan lainnya di masa pandemi covid 19,“ terang Atnike.

“Indonesia juga sedang di assessment perihal kebijakan anti diskriminasi terhadap perempuan yang dilaksanakan oleh PBB di bawah shadow committee. hal itu merupakan satu agenda politik luar negeri yang perlu mendapat perhatian,” lanjutnya.

Atnike juga menyoroti bahwa saat ini ILO sedang mendorong negara-negara anggota ILO agar meratifikasi ketentuan no: 190 tahun 2019 tentang Pelecehan dan kekerasan di dunia kerja. “Hal itu juga perlu mendapat perhatian dalam politik diplomasi luar negeri Indonesia. Terlebih Indonesia negara yang memiliki banyak pekerja migran perempuan yang sering mengalami kekerasan di luar negeri.“ katanya.