Scroll untuk baca artikel
Blog

Didin S Damanhuri: Pelemahan KPK Pertanda Koruptor Sedang Menyerang Balik

Redaksi
×

Didin S Damanhuri: Pelemahan KPK Pertanda Koruptor Sedang Menyerang Balik

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat sorotan berbagai pihak. Dalam acara webinar yang diselenggarakan oleh Narasi Institute, mulai dari profesor sampai jurnalis sepakat bahwa tidak lolosnya 75 pegawai KPK adalah sinyalemen buruk kondisi bangsa.

“Fenomena aneh atas 75 pegawai KPK tidak lulus TWK [Tes Wawasan Kebangsaan] adalah fenomena koruptor fight back,” ujar ekonom sekaligus Guru Besar IPB Prof Didin S Damanhuri, Jumat (4/5/2021).

Didin S Damanhuri mengatakan bangsa Indonesia sudah kehilangan roh reformasinya dan perlu suara perubahan. KPK sebagai anak kandung reformasi, oleh karena itu, penting mendapat perhatian dari setiap elemen masyarakat.

“Ruh reformasi di mana KPK sebagai salah satu pilarnya mengalami loss [hilang] sejak adanya UU KPK yang baru”. Ujar Prof Didin S Damanhuri.

Prof Didin S Damanhuri mengajak elite penguasa untuk kontemplasi diri karena korupsi telah menyita kesejahteraan bangsa ini.

“Indeks antikorupsi paling tinggi diperoleh negara Skandinavia dan kita dapat menyaksikan negara tersebut menikmati ekonomi yang lebih sejahtera, pendapatan perkapita yang lebih tinggi,” kata Didin Damanhuri.

Abdullah Hehamahua, pegiat antikorupsi yang juga hadir sebagai pembicara, mengatakan tes TWK terhadap pegawai KPK sengaja dilakukan agar pegawai yang bersih dan kredibel tidak diloloskan sebagai pegawai organik KPK. Ia menyebut hal itu disebabkan adanya elite penguasa yang dendam dengan 75 pegawai KPK.

“Ada dendam 7 turunan dari Firli Ketua KPK dan Budi Gunawan Ketua BIN terhadap 75 pegawai KPK tersebut, sehingga mereka menjadi tidak lulus tes TWK,” ujar Abdullah Hehamahua.

Hersubeno Arief, jurnalis senior, menyoroti isu taliban yang diuntukkan pegawai KPK. Menurutnya framing itu tidak terbukti dan sebenarnya cenderung gagal total jika dilihat dari banyak sisi. Justru, kondisi ini menguatkan indikasi bahwa siapapun yang mereka yang tidak bisa bekerjasama dengan penguasa, akan secara otomatis dicap ‘taliban’.

Framing radikal tidak hanya distigmakan kepada pegawai 75 KPK namun juga dibuat stigma terhadap lawan-lawan politik pemerintah khususnya umat islam,” Ujar Hersubeno Arief.

Taufik Bahaudin Direktur Center Pengembangan Talenta dan Brainware Universitas Indonesia mengatakan bahwa pelemahan KPK lewat tes TWK disebabkan cara berpikir elite politik yang transaksional.

“Sifat transaksional para pejabat dalam memperoleh kekuasaan menyebabkan pejabat Indonesia hari ini jadi tidak jujur dan cenderung koruptif,” kata Taufik Bahaudin.

Alam pikiran transaksional merupakan dasar yang membuat mereka memusuhi KPK. Taufik Bahaudin menilai, sebetulnya budaya yang menjurus koruptif ini dapat diubah dimulai dari level kepemimpinan nasional. Jika transformasi mindset dapat dilakukan, niscaya seluruh fungsi kepemerintahan akan berjalan secara beres.

“Apakah kita bisa berubah dari level korupsi yang menggurita sekaranga ini? Bisa asalkan harus dimulai dari level kepemimpinan nasional. Leadership kepemimpinan harus memulai melalukan transformasi budaya” Ujar Taufik Bahaudin yang juga aktivis Universitas Indonesia.

Sementara itu, ekonom Achmad Nur Hidayat menyatakan KPK tidak bermanfaat lagi bagi penegakan kejujuran dan pemberantas korupsi di Indonesia. Dari sisi anggaran, kemandulan itu menyiratkan pesan bahwa tak perlu lagi memberikan anggaran tambahan kepada KPK di 2022.

“KPK meminta dana tambahan Rp403 miliar untuk 2020 sehingga menjadi Rp1,49 triliun dari Rp1,15 triliun 2021. DPR seharusnya jangan serta merta memenuhinya. Harus ada target pemberantasan korupsi yang jelas dan kepastian penyerapannya,” ujar Achmad Nur Hidayat.