Intinya, dalam kapitalisme pasar politik terdapat perbedaan perilaku pemilih antara warga yang terorganisir dengan yang tidak. Pada warga yang terorganisir berlangsung praktik “transaksi politik” (political transaction), sementara pada warga yang tidak terorganisir berlangsung “pertukaran politik” (political exchange).
Dalam pasar politik, ada perbedaan antara yang bersifat transaksional versus pertukaran. Dari segi dampak, yang transaksional bersifat langsung pada saat pemilu/pilpres/pilkada, sedangkan yang pertukaran bersifat tidak langsung (realisasinya pasca pilpres, pileg atau pilkada).
Dari segi dimensi, yang transaksional tolok ukurnya senantiasa bersifat material, yang pertukaran berwujud program.
Dari segi model operasinya, yang pertama transaksional biasanya melalui jalur perantara, berupa jaringan klientelistik dan tim sukses, sedangkan yang pertukaran melalui pelibatan warga secara langsung.
Itulah realitas politik di Indonesia saat ini, padahal sejatinya politik merupakan proses alokasi dan distribusi sumber daya negara kepada masyarakat. Proses tersebut berjalan terus menerus tanpa henti dalam aktivitas keseharian masyarakat.
Tapi nyatanya, proses politik kerap direduksi dalam konteks pemilu, pileg atau pilkada semata sehingga proses alokasi dan distribusi sumber daya kepada masyarakat hanya ditempatkan untuk mencapai atau pun mempertahankan posisi politik oleh partai politik atau pun kandidat.
Kerja alokasi dan distribusi kerap tidak pernah melampaui momen pemilu melalui institusi politik dan disalurkan melalui anggaran dan kebijakan formal, akan tetapi hanya berkutat di masa tahapan pemilu dan dilakukan oleh mesin politik (partai/kandidat klientelistik) dalam bentuk klientelisme yang berupa pertukaran sumber daya antara kandidat dengan pemilih dengan tujuan memperoleh dukungan suara.
Proses pertukaran berjalan secara langsung, bersifat personal dan jangka pendek.[]