Mobil listrik adalah masa depan bumi ini untuk mengurangi laju pemanasan global dan pengurangan CO2.
BARISAN.CO – Berdasarkan hasil riset Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) tahun 1990 – 2019, transportasi menyumbang emisi paling tinggi yakni sekitar 29,1 persen, terutama berasal dari transportasi darat yang menghasilkan 10 persen jejak karbon.
Jejak karbon adalah jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan dari berbagai kegiatan atau aktivitas manusia pada kurun waktu tertentu. Jejak karbon biasanya dihitung dengan satuan ton ekuivalen karbon dioksida atau CO2.
Menurut pakar lingkungan dari Universitas Jenderal Soedirman, Yanto, Ph.D, jika kondisi tersebut dibiarkan saja, misalnya masyarakat masih menggunakan bahan bakar seperti solar dan bensin, maka kontribusi transportasi terhadap peningkatan emisi akan tetap.
Padahal peningkatan emisi ini sangat berpengaruh terhadap pemanasan global. Saat ini permukaan air laut kian tinggi, akibat suhu bumi yang semakin lama semakin naik. Akibatnya es di kutup mencair dan menyumbang peningkatan jumlah air di lautan.
Yanto kemudian menyebut mobil listrik dapat menjadi solusi untuk mengatasi hal tersebut.
“Mobil listrik adalah masa depan bumi ini untuk mengurangi laju pemanasan global dan pengurangan CO2. Semoga semua negara berubah. Pabrik transportasi beralih ke produksi mobil listrik,” katanya dalam Mimbar Virtual Barisanco dengan tema “Tantangan dan Masa Depan Bus Listrik di Jakarta”, Rabu (23/3/2022).
Ia menambahkan skenario hidup tanpa mobil sebagai langkah mitigasi pemanasan global cenderung sulit dilakukan. Menggunakan mobil listrik dapat menjadi solusi dengan menurunkan jejak karbon hingga 1,95 ton ekuivalen karbon.
Sementara itu penggunaan transportasi publik dapat menurunkan jejak karbon hingga 0,98 ton ekuivalen karbon. Artinya penggunaan transportasi publik berbasis mobil listrik akan mengurangi jejak karbon yang jauh lebih besar.
Saat ini mobil listrik masih dalam tahap pengembangan. Produksi mobil listrik juga masih menghadapi berbagai tantangan termasuk pembangkit listrik. Sebab Indonesia masih mendominasi menggunakan batu bara untuk pembangkit listrik.
Yanto mengatakan seharusnya Indonesia harus mulai berpikir menggunakan energi terbarukan. Apalagi dari sisi geografi, Indonesia memiliki banyak sumber energi terbarukan tersebut seperti air, matahari dan ruang terbuka.
“Saya kira terkait pengembangan teknologi, harus ada keinginan dari pemerintah. Tidak bisa mengandalkan peneliti saja,” ujarnya. [ysn]