Scroll untuk baca artikel
Opini

Tujuh Bulan Berlalu, Belum Ada Tanda Puncak Krisis

Redaksi
×

Tujuh Bulan Berlalu, Belum Ada Tanda Puncak Krisis

Sebarkan artikel ini

Sejak ditemukannya virus Covid-19 di Indonesia pada awal Februari lalu, belum juga terlihat keseriusan pemerintah menangani ini. Berdasarkan data dari situs covid19.go.id, jumlah kasus per tanggal 14 September 2020 bertambah 3.141 kasus dengan total angka keseluruhan mencapai 221.52 kasus. Indonesia belum dapat menekan jumlah kasus apalagi berhasil terbebas sepenuhnya.

Sikap dasar yang seharusnya dimiliki pemerintah dalam menangani situasi krisis seperti saat ini ialah mental set untuk mencari solusi penanganan krisis. Dalam beberapa kasus, terjadi secara refleks kecenderungan mencari kambing hitam. Sehingga, solusi yang dipilih pemerintah selalu diiringi dengan menuding kesalahan pihak lain. Hal inilah yang akhirnya akan memperpanjang krisis yang terjadi serta memperburuk citra pemerintahan. Seperti peribahasa, senjata makan tuan. Maksud hati ingin menjatuhkan orang lain malah berbalik kepada diri sendiri.

Menurut ahli, alangkah baiknya dalam manual krisis dituliskan: Cari Yang Berjasa Dalam Krisis. Tulisan tersebut sebaiknya dibuat dalam huruf kapital. Langkah ini akan menjadi sangat efektif dalam meredam krisis yang berlangsung. Selain itu juga, media dan publik akan melihat jika pemerintah selalu memberi pandangan positif, pemberitaan yang menyebar pun adalah berita-berita positif mengenai pihak yang berjasa. Sehingga hal ini akan menekan pemberitaan buruk kepada pemerintah.

Seperti yang terjadi beberapa hari lalu, tepatnya saat Anies Baswedan mengumumkan akan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar lagi mulai Senin, 14 September hingga 23 September. Para menteri kompak protes dan menuduh Anies akan kebijakan yang diambilnya. Menteri Perindustrian Agung Gumiwang mengkhawatirkan kinerja industri manufaktur di tanah air. Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar juga mengkhawatirkan hal yang sama dengan Agung Gumiwang. Agus Suparmanto menganggap bahwa dampak dari PSBB akan mengganggu jalur distribusi logistik. Juga, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto menilai pengumuman PSBB dari Anies menimbulkan ketidakpasrian pasar saham terutama IHSG.

Kebijakan yang diambil oleh Anies Baswedan memberlakukan PSBB Pengetatan sudah pasti dirembuk sebelumnya melalui komunikasi dengan berbagai pihak.

Sekalipun para menteri protes bahkan menuduh Anies penyebab berbagai hal, namun, tidak ada lagi yang bisa dipercaya selain ahli kesehatan. Seperti diketahui, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengapresiasi langkah Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan PSBB pengetatan.

Saat ini yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat ialah mencari solusi bahkan jika bisa memberi keleluasaan bagi daerah untuk membuat kebijakan penanganan Covid-19 sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan. Pandemi belum berakhir, pro-kontra terus dilayangkan, hingga solusi belum juga ditemukan.

Pertanyaannya: sampai kapan situasi ini akan berlangsung? Sampai vaksin ditemukan? Tapi kapan? Tenaga medis sudah lelah. Media sosial kini bahkan menjadi arena pertandingan sumpah-serapah warganet bagi siapapun yang berbeda pendapat.

Tujuh bulan sudah berlalu, pemerintah masih belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Jumlah angka kematian pun terus bertambah. Akan ada banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarganya jika pemerintah tidak tegas dan sibuk mencari kambing hitam seperti ini. Juga, jumlah pengangguran yang akan terus meningkat. Pengusaha bisa berdalih bahwa keuangan mereka memburuk, tetapi rakyat kecil tidak bisa memaksa agar dapat terus bekerja di perusahaan yang sewaktu-waktu bisa saja memberhentikan mereka dengan dalih tersebut.