DI SELA meliput Muktamar Nahdhatul Ulama (NU) di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jatim, akhir November 1999, saya mendapat narasumber hebat. Dia seorang bapak tua penjual dawet yang seumur-umur, sejak usia belia, berjualan minuman rakyat, dawet, di tepi sungai Brantas.
Saya tidak tidak pernah lagi mendapat kesempatan bertemu dengan beliau sesudah 1999. Tetapi ketika saya bertemu dengannya, usianya sudah menginjak 70an tahun.
Pak Tua ini bercerita, bagaimana dia melalui tahun demi tahun sejak muda, berjualan dawet, di lokasi yang sama, di tepi sungai Brantas, Kediri. Lokasi yang dia tempati tentu saja bertumbuh. Bangunan-bangunan tumbuh, para penghuni berganti. Namun yang tetap diingat adalah peristiwa horor tahun 1965, di mana dua kelompok anak bangsa berusaha saling bunuh dan dimenangkan oleh salah satunya dalam perang saudara yang kejam dan penuh darah.
Waktu itu, suasana mencekam terjadi antardua kelompok warga. Yaitu antara warga NU dan PKI. Keduanya, kata pak tua ini, sudah menyiapkan diri masing-masing dengan persiapan perang. NU dengan Bansernya, dan PKI dengan pemuda rakyatnya.
Golok, keris, parang, tombak, dan senjata tradisional lain, sudah disiapkan di rumah-rumah warga yang akan bertempur. Senjata api dimiliki beberapa saja oleh warga.
“Kedua pihak sudah saling siap perang,” ujarnya.
Lalu berita kudeta oleh PKI pada 30 September 1965 terjadi. Beberapa jenderal tewas, menyebabkan gerakan massa di bawah berubah cepat. Menurut bapak penjual Dawet ini, jika semula pemuda rakyat siap menyerbu menunggu komando PKI, dengan kudeta yang maju jadwal itu, Banser NU lah yang bergerak lebih dahulu menyerbu pemuda rakyat.
Di manapun perang, apalagi perang antarwarga, amatlah kejam. Pada saat itu, kata Bapak Tua ini, sungai Brantas penuh dengan mayat mereka yang dituduh dan dibunuh sebagai PKI. Bahkan ada mayat-mayat yang dirangkai seperti batang bambu untuk membuat rakit, dan bendera PKI ditancapkan di sela mayat yang mengalir ke laut.
“Pada saat itu tidak ada hukum. Orang bisa menuduh tetangganya PKI, dan merebut istrinya sesudah si suami dibunuh,” ujar Pak Tua.
Poin penting dari pak tua penjual dawet yang ingin kita sampaikan dalam pelajaran ini, sekali lagi adalah bahwa kita bisa mendapatkan informasi yang bernas mengenai apa yang terjadi di lapangan menyangkut sebuah peristiwa besar, dari warga biasa.
Tentu saja, agar berita menciptakan kemaslahatan bersama dan tidak melanjutkan atau melestarikan dendam, perlu dilengkapi dengan wawancara narasumber lain, maupun riset pustaka. Lalu, menuliskannya dengan hati jernih dan kepala dingin.
Konflik besar ideologi dengan korban ratusan ribu bahkan ada yang memperkirakan menjacapai 1 juta jiwa pada tahun 1965 itu, sebetulnya bukanlah konflik tunggal yang hanya terjadi di Indonesia saja. Tetapi juga terjadi di banyak negara lain sebagai imbas terjadinya perang dingin antara blok Barat (Amerika dan sekutunya) dan Blok Timur (Uni Soviet dan kelompoknya).
Perang Dunia memang sudah tidak lagi terjadi secara terang-terangan. Imbas bom nuklir yang dijatuhkan Amerika di Hiroshima dan Nagasaki begitu menakutkan pihak-pihak di dunia Barat, sehingga mereka mengupayakan tidak akan ada lagi perang dunia secara sungguh-sungguh.
Tetapi, yang tidak bisa dihilangkan oleh pemerintahan di negara-negara pemenang perang adalah kompleks industri senjata.
Dulu, awal tahun 1980an, guru besar Fakultas Ekonomi UGM, Prof. Rukmono Markam, dalam makalahnya pengukuhan guru besar ekonomi di UGM—lalu makalah ini ditulis menjadi artikel di majalah legendaris Prisma—mengingatkan soal bahaya kemanusiaan atas adanya kompleks industri militer. Industri ini akan menjadi masalah yang harus dipikirkan serius oleh bangsa-bangsa di dunia.