Monolog Turah: Pesta penuh gebyar, gengsi dan prestise. Lakon saya membela Turah, meski saya mungkin dianggap salah arah.
BARISAN.CO – Lakon saya kedua, Turah. Seperti lakon Tuma, Turah cukup laris ditanggap. Bahkan mulai diundang ke luar kota. Antara lain Jakarta, Bojonegoro, Purwokerto, Jepara, Kudus, Pati, Rembang.
Ada yang menarik saat saya main di aula rumah dinas wakil bupati Rembang. Dari aula saya mau shalat Isa di kamar untuk saya. Melewati pendopo, saya lihat para santri wabub adik Kiai Mustofa Bisri.
Kamar saya menghadap dekat ke pendopo. Tirai jendela kaca saya biarkan terbuka. Sehingga mereka melihat saya shalat. Saat shalat tiba-tiba ada yang membuka pintu dan menepuk bahu saya. Seorang pria tinggi besar, yang saya pikir ajudan wabub.
“Ada apa, Pak?” tanya saya.
“Maaf, salah kiblat.”
“Oh…”Ajudan pun menunjuk arah yang benar.
Ini lakon hitam putih, salah benar, kaya miskin yang diwakili sosok Turah. Seorang wanita pinggiran, para perempuan jalanan. Masyarakat kecil yang tiap malam menyaksikan pesta di sebuah kota.
Pesta penuh gebyar, gengsi dan prestise. Lakon saya membela Turah, meski saya mungkin dianggap salah arah.
Sebagian besar penonton adalah para santri itu. Ada rasa minder, karena mereka tentu tadi melihat saya salah kiblat. Ini bahaya untuk permainan saya.
Saya mesti meneguhkan jiwa saya. Mengapa juga saya mesti diingatkan, pakai ditepuk segala. Bukankah saya yakin menghadap kiblat. Bukankah Tuhan ada dimana-mana.
Oleh keyakinan ini saya merasa Tuhan tersenyum, dan saya merasa dikuatkan. Lakon Turah berlangsung mulus dan penuh gerr. Para santri pun ikut tertawa senang. Alhamdulillah, sekarang jelang Maghrib.