Scroll untuk baca artikel
Kolom

Turun Gunung

Redaksi
×

Turun Gunung

Sebarkan artikel ini

ISTILAH turun gunung dimulai pada cerita rimba persilatan. Ingat, cersil “Pendekar Suling Emas” Kho Ping Hoo atau “Nagasasra Sabukinten” SH Mintardja.

Perguruan silat pada zaman cerita itu dikisahkan ada di gunung. Pendekar yang sudah melewati olah kanuragan dan kebatinan perlu mempraktekkan ilmunya.

Maka oleh sang suhu, mereka diminta turun gunung. Semacam ujian akhir, bertemu dengan kasunyatan, kehidupan nyata yang penuh silang sengkarut.

Itulah arti sebenarnya turun gunung.

Nah, SBY dalam satu acara Partai Demokrat, melalui pidatonya berniat turun gunung. Cikeas tentu saja bukan gunung, dan SBY bukan murid kemarin sore yang mesti turun gunung.

Di sini, kosa kata turun gunung mengalami pengandaian, bukan arti sebenarnya. Meski alasan untuk dia turun gunung kira-kira sama dengan pendekar yang turun gunung.

Bahwa, dia mensinyalir, Pemilu mendatang tidak jujur dan tidak adil. Akan terjadi rekayasa hanya ada dua capres yang ditentukan oleh ‘mereka’ yang memegang kekuatan politik.

Pendek kata: akan terjadi silang sengkarut.

Saya pikir untuk mengantisipasinya, itu tugas DPR, KPU, Bawaslu, dst. Lalu kalau kita mengartikan istilah turun gunung, mari kita maknakan.

Bahwa turun gunung, barangkali pembesaran dari kata blusukan.

Toh sebagai kata kerja sama dan sebangun. Katakanlah, mudahnya, turun gunung itu ‘is’ turun tangan. Atau dalam bahasa Jawa, cawe-cawe. Keikut-sertaan atas perhatian sosial dari setiap anak bangsa.

Maka jika frasa ini kita benarkan, siapa pun kita, rakyat, dalam menghadapi Pemilu akan turun gunung. Akan turun tangan: mencoblos.***