Aspek denominasi atau mata uang utang dinyatakan berupa Rupiah sebesar Rp8.752 triliun (70%), berupa valuta asing sebesar Rp3.723 triliun (30%). Dari asal pemberi utang atau Kreditur: domestik sebesar Rp8.600 triliun (31%), pihak asing sebesar Rp3.874 triliun (69%).
Ketiga aspek dari profil USP tersebut memang tidak menunjukkan pemburukan pada tahun 2020 dibanding tahun 2019. Bahkan dalam aspek denominasi dan asal kreditur, risiko eksternal tampak menurun. Namun, persentase yang terbilang masih besar dari utang valas dan kreditur asing, maka risiko jika ada guncangan eksternal masih sangat tinggi.
Risiko yang tampak meningkat adalah dalam utang BUMN. Utang BUMN dalam data SUSPI tercakup dalam perusahaan keuangan publik dan perusahaan publik nonkeuangan.
Data SUSPI tentang utang BUMN diakui oleh Bank Indonesia berbeda dengan data Pemerintah atau Kementerian BUMN. Sebagai contoh, posisi utang BUMN per akhir tahun 2020 menurut Pemerintah telah mencapai Rp7.789 triliun. Sedangkan utang perusahaan publik keuangan dan nonkeuangan SUSPI hanya sebesar Rp5.954 triliun. Padahal, ada utang Bank Indonesia dalam kategori perusahaan keuangan publik.
Dapat dikatakan bahwa belum semua utang BUMN dicakup dalam SUSPI dari Bank Indonesia. Dalam hal data akhir tahun 2020, selisihnya sekitar Rp2.000 triliun dari data Kementerian BUMN. Jika kita menjumlahkan secara bruto, maka utang sektor publik secara “tidak resmi” mencapai lebih dari Rp14.000 triliun pada akhir 2020.
Terlepas dari soalan tersebut, SUSPI menyajikan tingginya kenaikan utang perusahaan publik yang bukan lembaga keuangan atau yang merupakan BUMN sektor nonkeuangan, selama era 2014-2019. Artinya, sebelum ada pandemi. Posisinya pada 2014 sebesar Rp504,66 triliun meningkat menjadi Rp1.004,26 triliun pada 2019. Posisinya meningkat menjadi hampir 2 kali lipat (199%), lebih tinggi dari keseluruhan USP (175%).
Pandemi hanya sedikit meningkatkan utang kategori ini. Posisi akhir triwulan I-2021 sebesar Rp1.097 triliun, hanya bertambah 9,27% dari posisi akhir tahun 2019. Laju kenaikannya lebih rendah dari utang pemerintah dan utang keseluruhan sektor publik.
Meskipun demikian, kemampuan membayar kewajiban utang menurun drastis. Kinerja keuangan secara umum memburuk, terutama dalam hal likuiditas.
Risiko utang kelompok BUMN bukan lembaga keuangan juga sangat tinggi jika dilihat dari aspek denominasi, asal kreditur, dan jangka waktu sisa pelunasan.
Porsi utangnya dalam valuta asing mencapai Rp735,75 triliun atau 67,04% dari total utangnya. Sebagian utang dalam valuta asing itu sebenarnya kepada pihak domestik. Utang kepada kreditur asing sebesar Rp686,54 triliun atau 62,56%.
Padahal, sebagian besar produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh kelompok BUMN ini dijual di dalam negeri. Menghasilkan pendapatan dalam rupiah. Sedangkan kebutuhan membayar kewajiban dalam valuta asing, berporsi cukup besar.
Utang jangka pendek berdasar waktu sisa, atau yang harus dilunasi hingga setahun ke depan dari akhir Triwulan I-2021 sebesar 18,29% dari total utangnya. Jika dilihat secara nominal mencapai Rp200,76 triliun. Gambaran risiko dalam hal nominal ini adalah pada kasus gagal bayar dari Garuda Indonesia, yang “hanya” sekitar Rp7,25 triliun. Sementara itu, kinerja keuangan akan memperoleh tantangan cukup berat karena terdampak pandemi dan masih dalam kondisi pemulihan ekonomi nasional.
Secara keseluruhan, kondisi utang sektor publik terkini dan proyeksinya ke depan akan mempersulit sektor korporasi swasta dan UMKM dalam hal pembiayaan baru. Tidak dapat dihindari adanya perebutan sumber dana untuk dipinjam.