Dalam hal jatuh tempo atau harus dilunasi, yang berjangka pendek sebesar Rp5.659 triliun (44,12%) dan yang berjangka panjang sebesar Rp7.167 triliun (55,88%). Jangka pendek menurut waktu sisa artinya yang memang ketika transaksi disepakati berjangka pendek (kurang dari setahun), ditambah yang berjangka panjang, namun waktu pelunasannya sudah kurang dari setahun.
Perlu diketahui bahwa sebagian utang berjangka pendek dimaksud berupa simpanan masyarakat atau dana pihak ketiga (DPK) pada Bank BUMN. Dalam hal DPK berupa tabungan dan giro memang diperlakukan sebagai utang, namun memiliki karakteristik risiko yang berbeda dengan utang jangka pendek lainnya.
Bagaimanapun, posisi utang sektor publik sebesar Rp12.826,43 triliun terbilang sudah besar dan memiliki risiko yang cukup tinggi. Rasionya atas Produk Domestik Bruto (PDB) sudah mencapai 77,64%.
Rasio itu memakai asumsi PDB tahun 2021 yang tersirat dalam Nota Keuangan dan RAPBN tahun 2022. Tersirat dalam prakiraan (outlook) realisasi APBN 2021 yang sebesar Rp961,49 triliun disajikan sebagai 5,82% dari PDB. Artinya PDB tahun 2021 diasumsikan sebesar Rp16.521 triliun. Jika realisasi nanti ternyata lebih rendah, maka rasio akan menjadi lebih tinggi.
Posisi dan rasio utang sektor publik akan menjadi lebih besar jika data seluruh BUMN dimasukan. Sebagai contoh pada akhir tahun 2020, LKPP menyebut total utang BUMN mencapai Rp6.791 triliun. Untuk periode yang sama, SUSPI menyebut utang korporasi publik bukan lembaga keuangan sebesar Rp1.054 triliun dan utang korporasi publik keuangan sebesar Rp5.023 triliun. Total keduanya hanya sebesar Rp6.077 triliun. Padahal, dalam data sektor korporasi keuangan publik tadi telah termasuk utang Bank Indonesia.
Berdasar data akhir tahun 2020, penulis memprakirakan utang BUMN yang belum tercakup data SUSPI per akhir triwulan II-2021 sekitar Rp800 triliun. Dengan memasukannya, maka utang sektor publik mencapai kisaran Rp13.625 trilliun. Rasionya atas PDB menjadi sebesar 82,47%.
Risiko tertinggi tampak dihadapi oleh korporasi publik (BUMN) bukan lembaga keuangan. Berdasar data SUSPI, porsinya yang berdenominasi valuta asing memang hanya 33,04%, sedangkan yang berdenominasi rupiah mencapai 66,96%. Akan tetapi, yang bersifat utang luar negeri atau kepada pihak asing mencapai 61,86%, dan utang dalam negeri sebesar 38,14%.
Terkait jangka waktu pelunasan. Utang kelompok BUMN ini yang harus dilunasi dalam waktu kurang dari setahun (dari akhir Juni 2021) mencapai 21,78% dari total utangnya.
Sayangnya, tidak tersedia informasi publik yang memadai tentang utang BUMN. Bahkan di laman Kementerian BUMN, informasi terkini posisi utang seluruh BUMN adalah data per akhir tahun 2019. Tidak lagi tersedia, rincian untuk masing-masing BUMN. Apalagi yang bersifat profil utangnya.
Padahal, salah satu tantangan berat perekonomian Indonesia kini hingga beberapa tahun ke depan adalah kinerja keuangan BUMN. Jika beberapa BUMN berskala besar mengalami gagal bayar utang hingga beberapa kali, dampaknya akan sangat besar pada kondisi keuangan negara serta kondisi perekonomian secara keseluruhan. Penulis berharap hal tersebut tidak sampai terjadi. [rif]