Scroll untuk baca artikel
Blog

Warung Proletar

Redaksi
×

Warung Proletar

Sebarkan artikel ini

WARUNG PROLETAR

Warung kecil di sisi rel dan penutup jalan perlintasan kereta api
Sayur asam dan sejarah Mataram Islam
Pecak ikan cucut tambak-tambak pantai utara
Di sini cerita dimulai, sejak Gendowor plekatik kuda sang akuwu
Martoloyo perompak laut utara Jawa
Tapi pahlawan dia, sebab yang dirampok kapal-kapal Belanda
Lombok, bawang, terasi garam, dalam ulekan cobek
Sayur asam panas di atas tungku kayu bakar

Sultan Agung memuji sate Tegal kedoyanan Martoloyo
Bersiap sang akuwu sebagai panglima perang Mataram ke Batavia VOC
Perjanjian telah disepakati di kraton Mataram
Lihat, katanya, dari pantura kami berkuda ke pedalaman Mataram, setengah hari cuma
Menembus hutan, mendaki tebing, menuruni jurang
Tapi Belanda perlu setengah abad untuk sampai di keraton Mataram, sebab mesti membangun jalan
Kereta melaju, bersama manis-pahit teh poci gula batu

Andi Kustomo , Dedy Irawan , Lutfi AN , menikmati warung proletar dengan setengah hati
Sebab kota yang dibangun menjadi metropolitan
City Walk, Food Truck, Play Deck untuk alun-alun Fatahilah dan rumput plastik
Para pedagang kaki lima tergusur bersama alun-alun yang berubah menjadi taman
Mereka merasakan asam sayur dan pahit teh, dan perasaan terpinggir
Ya, mereka bukan Martoloyo atau Sultan Agung
Pun bukan Gendowor yang mati syahid demi membela rakyat
Toh mereka tetap menikmati egalitarian diri, bersama kereta yang melaju dari Jakarta…

Andi: saya beli limapuluh kursi sengmu, tapi jangan seratus ribu satu, saya tawar limapuluh ribu ya
Dedy: lho, saya tidak jual seng, saya jual sejarah
Lutfi: tapi Andi mau beli kursi seng, bukan sejarah
Ekko: huahaha..!

Semarang, 24 Juli 2022

MALAM SURA

Silver Boy di malam sura, berjalan sendiri di jembatan penyeberangan Jendral Sudirman
Entah apakah dia tahu, kini kala pertama manusia diciptakan
Sekarang seperti ini kehidupan, pun kota sebagaimana kota dunia
Gedung-gedung tinggi berkaca, bagai ribuan bulan segi empat
Dan aku menciptakan diriku sendiri dengan tubuh bercat perak
Bolehlah kau bilang aku seniman pertunjukan di abad berlari, kata Afrizal
Senyatanya aku mesti meneruskan hidupku dengan caraku

Apakah aku mesti memilih makan apa, sebagaimana pilihan bubur balado
Kopi untuk ngobrol tentang pilihan hidup, sebagai manusia atau mafioso
Bahkan kehidupan ini telah dimainkan di meja makan dengan menu harian.
Sup politik, iga bakar ekonomi, sate ayam hukum: American fried chicken, Chinese food, Korea menu
Mereka bangun panggung dalam teater dunia pertama
Dan rakyat tak punya hak bersuara dalam demokrasi
Lalu aku, hidupku, duniaku, hanya sebatas traffic light dan zebra cross

Sudahlah, akui saja ini bukan ide demokrasi, tapi kerajaan tunggal dalam lakon super power
Di kedai paling gelap pinggiran kota, kami hanya bisa berbisik tentang kekuasaan
Tentang hak yang tergadai azas, dalam kemanusiaan tanpa manusia
Sebagaimana sebelum manusia diciptakan, entah apa kata terkatakan
Di malam Sura kami bertanya, apakah tidak ada amandemen para malaikat
Atau setidaknya peringatan sebagaimana Nietze: alangkah sulitnya jadi manusia

Malam pun lewat tengah malam, aku tutup layar pertunjukanku sendiri
Untuk aku buka kembali besok pagi dengan kekuatan: dalam tubuhku hidupku aku mainkan sendiri, dalam kemerdekaanku…

Semarang, 27 Juli 2022

CHAIRIL BIN ATANG
Cerita buat: Joshua Igho

Deru kereta dan rumah-rumah meped rel
Dari mana mau ke mana, menara penyaksi angkutan rakyat 1945
Seorang pengamen dengan marakas: jangan pergi hari hujan, jangan pergi jadi urban…
Seorang sepi berjalan menyepi-nyepi
Di jalan setapak hingga gerbong-gerbong menggelap
Perjuangan hitam seorang anak malam
Tapi tiram ia dengan sinarnya, penunjuk jalan bagi seluruh habitat saat lautan membadai