SERING terjadi kekeliruan data dalam perbincangan publik tentang utang pemerintah. Tercampur atau menyamakan dengan dua jenis utang lainnya, yaitu utang luar negeri Indonesia dan utang sektor publik.
Kekeliruan terutama karena kurang mengerti definisi dan cakupan masing-masing, serta sumber datanya yang resmi. Meski ketiga jenis utang tersebut memang beririsan dan berhubungan erat, namun tidaklah sama.
Posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia merupakan penjumlahan posisi utang dari tiga pihak, yaitu: Pemerintah, Bank Indonesia dan swasta. Utang Pemerintah sendiri tidak hanya berupa ULN, namun juga memiliki utang dalam negeri.
Sebagai contoh, posisi utang pemerintah akhir Desember 2021 sebesar Rp6.913,98 triliun. Terdiri dari utang kepada pihak asing sebesar Rp2.860,67 triliun (41,38%), dan kepada pihak domestik sebesar Rp4.053,32 triliun (58,62%). Utang kepada pihak asing tercatat sebagai bagian dari data ULN Indonesia.
ULN Indonesia secara keseluruhan pada akhir Desember 2021 sebesar US$415,07 miliar. Terdiri dari ULN Pemerintah sebesar US$200,18 miliar (48,23%), ULN Bank Indonesia sebesar US$9,02 miliar (2,17%), dan ULN Swasta sebesar US$205,87 miliar (49,60%).
Sementara itu yang disebut utang sektor publik pada akhir Desember 2021 tercatat sebesar Rp13.448,83 triliun. Sektor publik terdiri dari semua unit institusi residen yang dikendalikan langsung atau tidak langsung oleh unit pemerintah, yaitu semua unit dalam sektor Pemerintah Umum (general government) dan korporasi publik (public corporations).
Posisi utang Pemerintah akhir bulan tertentu dirilis oleh Kementerian Keuangan melalui APBN Kita. Kondisi utang luar negeri dirilis Bank Indonesia berupa Statistik Utang Luar Negeri (SULNI) tiap bulan. Sedangkan kondisi utang sektor publik dirilis Bank Indonesia melalui dokumen Statistik Utang Sektor Publik Indonesia (SUSPI) tiap tiga bulan (triwulan).
Bank Indonesia mengakui belum semua institusi dalam definisi dilaporkan dalam SUSPI, dan masih akan terus disempurnakan penyusunan datanya. Sebagai contoh data utang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) belum tercakup. Begitu pula dengan data utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) belum seluruhnya diperhitungkan.
Daham hal data utang BUMN ini bisa dikatakan data SUSPI lebih kecil dari data total utang BUMN dari Kementerian BUMN. Tentu saja lebih kecil lagi dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang juga memasukkan BUMN dalam pembinaan Kementerian Keuangan.

Posisi utang sektor publik akhir 2021
Posisi Utang Sektor Publik pada akhir Desember 2021 tercatat sebesar Rp13.448,83 triliun. Tercatat terdiri dari beberapa kelompok institusi. Utang pemerintah pusat (Central Government) sebesar Rp6.913,98 triliun. Utang pemerintah daerah (Local Government) sebesar Rp70,30 triliun. Utang korporasi publik bukan lembaga keuangan (Nonfinancial Public Corporations) sebesar Rp1.012,84 triliun. Utang korporasi publik lembaga keuangan (Financial Public Corporations) sebesar Rp5.451,70 triliun.
SUSPI melaporkan utang tersebut yang berdenominasi rupiah sebesar Rp9.728,23 triliun (72,34%) dan dalam valuta asing sebesar Rp3.720,60 triliun (27,66%). Dalam hal pihak pemberi utang atau kreditur, terdiri dari domestik sebesar Rp9.618,15 triliun (71,52%) dan dari asing sebesar Rp3.830,69 triliun (28,48%).
Dalam hal jatuh tempo atau harus dilunasi, yang berjangka pendek sebesar Rp5.720,47 triliun (42,54%) dan yang berjangka panjang sebesar Rp7.728,36 triliun (57,46%). Jangka pendek menurut waktu sisa artinya yang memang ketika transaksi disepakati berjangka pendek (kurang dari setahun), ditambah yang berjangka panjang, namun waktu pelunasannya sudah kurang dari setahun.
Perlu diketahui bahwa sebagian utang berjangka pendek dimaksud berupa simpanan masyarakat atau dana pihak ketiga (DPK) pada Bank BUMN. Dalam hal DPK berupa tabungan dan giro memang diperlakukan sebagai utang, namun memiliki karakteristik risiko yang berbeda dengan utang jangka pendek lainnya.
Bagaimanapun, posisi utang sektor publik pada akhir tahun 2021 sebesar Rp13.448,83 triliun terbilang sudah besar dan memiliki risiko yang cukup tinggi. Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2021 tercatat sebesar Rp16.970,78 triliun. Dengan demikian, rasio utang sektor publik atas PDB sudah mencapai 79,25%.
Posisi utang sektor Publik cenderung meningkat secara nominal maupun rasionya atas PDB selama beberapa tahun terakhir. Terutama karena kenaikan utang Pemerintah dan utang BUMN. Tren itu terjadi sejak sebelum era pandemi. Dampak pandemi kemudian menambah laju peningkatannya.
Posisi dan rasio utang sektor publik akan menjadi lebih besar jika data seluruh BUMN dimasukan. Sebagai contoh pada akhir tahun 2020, LKPP menyebut total utang BUMN mencapai Rp6.791 triliun. Untuk periode yang sama, SUSPI menyebut utang korporasi publik bukan lembaga keuangan sebesar Rp1.054 triliun dan utang korporasi publik keuangan sebesar Rp5.023 triliun. Total keduanya hanya sebesar Rp6.077 triliun. Padahal, dalam data sektor korporasi keuangan publik tadi telah termasuk utang Bank Indonesia.
Berdasar data akhir tahun 2021, penulis memprakirakan utang BUMN yang belum tercakup data SUSPI sekitar Rp750 triliun. Dengan memasukkannya, maka utang sektor publik mencapai kisaran Rp14.200 triliun. Rasionya atas PDB menjadi sebesar 83,67%.
Risiko tertinggi tampak dihadapi oleh korporasi publik (BUMN) bukan lembaga keuangan. Berdasar data SUSPI, porsinya yang berdenominasi valuta asing mencapai 71,02%, sedangkan yang berdenominasi rupiah sebesar 28,98%. Yang bersifat utang luar negeri atau kepada pihak asing mencapai 65,87%, dan utang dalam negeri sebesar 34,13%. Terkait jangka waktu pelunasan, yang harus dilunasi dalam waktu kurang dari setahun mencapai 15,78% dari total utangnya.
Risiko terkait bentuk utang pun mesti dicermati. Kelompok BUMN ini memiliki utang dalam bentuk surat utang atau obligasi (securities) yang lebih banyak dibading pinjaman (loan). Ruang negosiasi persyaratan dan waktu jatuh tempo jika ada kesulitan tampak lebih sempit.
Sementara itu, salah satu tantangan berat perekonomian Indonesia kini hingga beberapa tahun ke depan adalah kinerja keuangan BUMN. Jika beberapa BUMN berskala besar mengalami gagal bayar utang hingga beberapa kali, dampaknya akan sangat besar pada kondisi keuangan negara serta kondisi perekonomian secara keseluruhan.