HUJAN masih terus mengguyur Semarang. Saya masih asyik berpikir cara membeli pakan kucing karena tak punya duit yang cukup.
Tiba-tiba telepon saya yang kuotanya mau habis berdering.
“Saya nggak mau tahu, pokoknya hari Minggu hasil wawancara Eksklusif dengan Gubernur itu harus sudah tayang,” suara tegas terdengar.
Demi pakan kucing, akhirnya saya sanggupi untuk wawancara itu.
Paginya saya sudah berhadapan dengan sang gubernur.
“Selamat siang mas. Terpaksa saya yang gak seneng dengan sampeyan berkorban untuk wawancara,” saya membuka percakapan.
“Mbok ya sudah. Kita hapus segala kebencian antara kita. Saya juga berkorban bersedia diwawancarai. Ayo kita tatap hari esok tanpa dendam,” jawabnya.
“Gini mas. Ada keluhan mbak Puan yang kecewa kunjungannya nggak sampeyan sambut. Bisa dijelaskan alasannya?” hati-hati saya bertanya.
“Jawaban yang untuk ditulis adalah karena tak ada kewajiban seorang gubernur untuk menyambut kunjungan Dinas. Nggak ada ketentuan undang-undangnya. Lagi pula saya lebih fokus ngurusi rakyat saya di wilayah kerja saya kan? Bagi politisi negarawan, ngurusi rakyat itu lebih penting dibanding ngurusi pejabat, meski ia adalah atasan,” katanya sambil tersenyum.
“Nah itu yang untuk ditulis. Kalau yang faktual sebenarnya kenapa mas?” saya mengejar.
“Hahaha. Cerdas. Saya malas aja. Lha pesaing calon presiden kok. Lagian lebih enak mainan slot online, hati terhibur,” katanya.
“Kok sampeyan yakin pesaing calon presiden? Kan juga belum pernah dideklarasikan?” saya membantah.
“Lha wong ketok cetha wela-wela. Mulai bagi-bagi beras dengan kantong bergambar dirinya dan pesan ke kader bahwa itu beras darinya. Padahal beras itu ya dari sumbangan-sumbangan. Trus kunjungan-kunjungan itu kan juga gak ada dampaknya bagi rakyat. Coba lihat wilayah yang dikunjungi apa kemudian autosejahtera?” jelasnya.
“Lha sampeyan sendiri memang ada rencana maju di kompetisi pilpres?” saya bertanya dengan menatap matanya secara penuh.
“Lho lha piye to? Saya itu sampai mengorbankan staf tim media wakil saya atau wakil gubernur untuk tak bikin konten tentang kegiatan wagub. Semua hal yang bisa mendongkrak popularitas sudah saya tempuh lho,” katanya.
“Termasuk membayar lembaga survey?” saya mengejar.
“Lha iyalah. Tapi jangan pakai istilah membayar ya. Pakai aja istilah konsultasi,” jawab mas Gubernur ini.
“Trus semua beaya mendongkrak popularitas itu dengan dana pos apa mas?” saya mengejar.
“Kan ada dana Operasional dan publikasi. Bisa dipakai itu. Toh yang dipublikasikan adalah kegiatan gubernur bukan calon presiden,” katanya.
“Nah, saya sekarang sampai tahap kesimpulan. Artinya sampeyan yang wegah njemput itu juga sibuk mendongkrak popularitas dengan APBD dan yang jengkel karena tak dijemput itu juga ndongkrak popularitasnya dengan anggaran negara plus model injak kaki kader di daerah ya. Oke deh mas, matur nuwun sudah kersa saya wawancara. Tapi nyuwun sewu saya mau mbungkus camilan ini untuk kucing saya,” saya menjawab sambil mengambil beberapa potong ayam goreng yang saya pastikan bukan ayam kampung.
“Jangan lupa, nulisnya yang di depan tadi tok ya. Nggak usah nulis sampai detail obrolan kita ini,” ia berpesan.
Saya tak mengiyakan tapi juga tak menolak. Toh saya juga nggak menulis detail pertemuan kami Minggu pagi ini. Saya tak menulis warna dan model bajunya, cewek manis yang mendampinginya dan dia sebut sebagai tim humasnya. Saya juga tak merinci berapa pengeluaran negara untuk memberi suguhan pada saya.
Saat hendak berpamit, saya melihat ada tiga dewa turun dari langit. Ia menjemput dan membwa saya terbang. Sampai diatas rumah, saya dijatuhkan begitu saja.