Scroll untuk baca artikel
Sastra

10 Puisi Chairil Anwar Tentang Cinta, Agama dan Kematian

Redaksi
×

10 Puisi Chairil Anwar Tentang Cinta, Agama dan Kematian

Sebarkan artikel ini
Puisi Chairil Anwar Tentang Cinta
Ilustrasi foto/Suara.com

Kumpulan puisi Chairi Anwar dengan berbagai tema baik religi, kematian mapun pengalaman cintanya

BARISAN.CO – Puisi Chairil Anwar sungguh sangat menginspirasi dan penuh makna. Tak ayal jika puisi-puisinya dijadikan bahan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan juga dijadikan materi lomba baca puisi.

Chairil Anwar dikenal dengan julukannya Si Binatang Jalang melalui karyanya yang berjudul Aku. Adapun teks puisinya berikut ini:

Aku

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

(Maret 1943)

Dikutip dari buku berjudul Chairil Anwar Sebuah Pertemuan karya Arief Budiman, menyampaikan “Barangkali, bukan suatu kebetulan, bila sajak pertama yang ditulis Chairil Anwar berjudul Nisan.”

Puisi berjudul Nisan merupakan sajak pertamanya saat menghadapi neneknya yang meninggal. Waktu itu ia berumur dua puluh tahun. Berikut ini puisinya:

Nisan

Untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala iba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maka tuan bertakhta

(Oktober 1942)

Awal-awal sajak-sajak Chairil Anwar banyak yang berbicara tentang kematian, selain judul Nisan di atas. Ada juga yang lain seperti:

Penghidupan

Lautan maha dalam
Mukul denture selama
Nguji pematang kita
Hingga hancur remuk redam
Kurnia bahagia
kecil setumpuk
sia-sia dilindungi, sia-sia dipupuk

(Desember, 1942)

Sendiri

Hiduplah tembah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi

Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kemarnya

Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya

Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan menanti ia menyebut satu nama

Terkejut ia tertunduk. Siapa memanggil itu?
Ah? Lemah lesu ia tersedu : Ibu ! ibu !

(Februari, 1943)

Semangat

Kalau sampai waktuku
kutahu tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu!

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang-menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari

Hingga bilang pedih dan peri

Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

(Maret 1943)

Chairil Anwar mulai menerbitkan karya puisi-puisinya pada tahun 1942 dan meninggal pada usia dua puluh tujuh tahun pada tahun 1949.

Puisi pertama pada tahun 1949, Chairil Anwar menuliskan pengalamannya tentang cinta. Pengalaman cinta kepada seorang wanita, puisinya berjudul Mirat muda, Chairil Muda

Mirat muda, Chairil Muda
Di pegunungan 1943

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah
Menatap lama ke dalam pandangnya
Coba memisahkan matanya menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah
Ketawa diadukannya giginya pada
mulut Chairil, dan bertanya ;
“Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?”
Mirat raba urut Chairil, rada dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakana
Dan tunjukkan dengan pasti di mana
Menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-jiwanya saling berganti
Dia rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati
bilang secepuk segan, bilang secepuk cemas
hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras
menuntut tinggi, tidak setapak berjarak
dengan mati

(1949).

Selain pengalaman tentang kematian dan cinta, Puisi Chairil Anwar juga mengekspresikan nilai-nilai religiusitas. Hal ini ia tuliskan dalam sajak-sajaknya yang sangat riligius.

Adapun puisi religi Chairil Anwar diantaranya:

Di Masjid

Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kamipun bermuka-muka
Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memandangnya

Bersimpuh peluh diri tidak bisa
diperkuda

Ini ruang
Gelanggang kami berperang