Scroll untuk baca artikel
Blog

10 Puisi untuk Negeri – Puisi Eko Tunas

Redaksi
×

10 Puisi untuk Negeri – Puisi Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

Semarang 19 Mei 2017

Burung Ayah

Ayahku punya burung
namanya burung ayah
Tidak di dalam sangkar
tapi merasuk dalam angan
Aku sangat ingin melihatnya
tapi ayah janji melulu

Kata ayah burung itulah
yang menyebabkan aku ada
Setiap aku bertanya ibu
selalu beliau tertunduk malu
Kemudian berkata: burung ini
bukan burung biasa anakku

Satu hari ayah bawa burungnya
lalu memasangnya di dinding
Apakah bisa terbang tanyaku
dalam angan langit bebas
Terbanglah bersama kata ibu
tapi jangan terlalu tinggi

Bagaimana kalau aku jatuh
tanyaku lihat burung itu diam
Kau akan jatuh di pelukan ibu
tapi kau akan terbang sendiri
Kau akan jadi burung perkasa
dan namamu..ah rahasia…

Semarang 1 Juni 2017

Kematian

Aku ingin banget melihat matiku
saat aku meninggalkan jasadku
Aku lihat isteriku nangis sebentar
lalu sibuk di dapur seperti biasa

Dua anak perempuanku berdandan
lalu menyambut teman-temannya
Tiga anak lelakiku tertawa-tawa
sebab anak lelaki musuh bapaknya
“kalau tidak mau jadi apa kalian…”

Tetangga pun menata jenazahku
mengeluarkan kursi pasang tenda
Mereka bicara tentang penyakitku
kalau nggak sakit mana bisa mati

Saudara-saudaraku berdatangan
membawa makanan kesukaanku
Mereka lantas ramai merumpi
pamer sukses dan mobil baru
“aku pamer apa selain buku…”

Teman-temanku banyak bertaziyah
yang sibuk kirim karangan bunga
Mereka asik ngobrol ngalor-ngidul
tentang sifat kacau dan kocakku

Jenazahku pun dibawa ke makam
aku ikut mengarak paling depan
Bolehlah Tuhan kasih gerimis
supaya dramatis macam teater
“tanam jasadku tapi tidak berdiri…”

Kematianku kemudian diperingati
kolegaku membuat panggung seni
Ada baca puisi atau performance
sok dikait dengan jalan hidupku

Aku ngapain selain pamer lukisan
orasi, baca puisi, monolog lucu
Sebab tak seperti kalian pas-pasan
semua bisa kecuali pidato pejabat
“aku kan sangat disayang Tuhan…”

Semarang 3 Juni 2017

Balon Waktu

Anakku ada lima
rupa-rupa rupanya
Tiga lelaki dua perempuan
si bungsu malah kembar dampit
laki-laki perempuan
Semuanya hidup
tidak ada yang meletus

Kami menikah terlambat
aku tiga enam isteri tiga empat
Bahkan dua tahun tidak beranak
Eh setelah lahir anak pertama
terus jadi keterusan
Ya apa boleh buat
kami memang tidak ikut kabe

Wah bagaimana ini
mengurus anak lima
Isteri bekerja sampai sore
aku seniman rumahan
Ya sudahlah
aku jadi bapak rumahtangga
berpuisi sambil menjaga anak

Pernah kami punya pembantu
padahal kamar cuma dua
Satu saat dia menimang anak
menyuapi sambil berdendang
Aku deg-degan dengar suaranya
Waduh bagaimana ini
dia menyanyi lagu genjer-genjer

Anakku ada lima
nggak terasa sudah besar
sudah bekerja semua
Seperti baru kemarin saja
Satu saat mereka berembuk
lalu menyampaikan hasilnya
mulai kini bapak pensiun saja