Scroll untuk baca artikel
Blog

24 Tahun Reformasi dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia

Redaksi
×

24 Tahun Reformasi dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia

Sebarkan artikel ini

Demokrasi jangan hanya dijadikan instrumen untuk meraih kekuasaan semata tapi bagaimana berdemokrasi bisa menghadirkan keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat.

Kini 24 tahun reformasi telah berlalu, namun kenyataannya reformasi belum mampu memperbaiki kehidupan rakyat secara signifikan. Di lain sisi, salah satu agenda reformasi yakni liberalisasi politik atau demokrasi pun kian hari kian menunjukan wajah yang suram. Lantas, bagaimana iklim demokrasi Indonesia saat ini?

Demokrasi dan partisipasi masyarakat di Indonesia mengalami penyusutan semenjak pandemi covid-19 menghantam Indonesia. Sebab pandemi covid-19 dijadikan pemerintah sebagai “kuda tunggangan” untuk membungkam kebebasan demokrasi. YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), sebuah LSM pejuang HAM (Hak Asasi Manusia) dan Demokrasi dalam catatan akhir tahunnya, menyimpulkan sepanjang 2020, di masa pandemi covid-19, sebagai tahun pelanggaran HAM dan tahun masuknya Indonesia sebagai negara otoriter secara sempurna. Tercatat ada 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil sepanjang tahun itu.

Dalam catatan YLBHI, ada 5 jenis pelanggaran, yakni: Pertama, pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan dengan persentase tertinggi 26%. Kedua, pelanggaran hak menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa, sebesar 25%. Ketiga, pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara digital dengan presentase 17%. Keempat, pelanggaran hak mencari dan menyampaikan informasi sebesar 16%. Kelima, pelanggaran terhadap data pribadi sebesar 16%.

Selanjutnya, The Economic Intelegence Unit dalam “Democracy Index 2020: In Sicknes and In Health?” sebuah laporan tentang demokrasi yang telah dikeluarkan lembaga ini dengan acuan 5 variabel untuk mengukur peringkat demokrasi pada 4 kategori, yaitu “full democracy”, “flawed democracy”, “hibryd democracy”, dan “authoritarian”.

Variabel itu adalah proses pemilu dan pluralisme, peran pemerintah, partisipasi politik, kultur politik, dan kebebasan sipil. Posisi Indonesia menurut laporan lembaga ini, bertahan pada ranking 64 dengan skor menurun. Menurut laporan lembaga ini, Indonesia mempunyai kultur politik yang buruk, begitu juga kebebasan sipil yang rendah.

Melihat fenomena politik yang terjadi semenjak pandemi hingga saat ini tentu sebuah hal yang riskan. Sebab di awal reformasi, kita begitu berharap kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat bisa tercapai lewat sistem politik yang demokratis. Semua orang bisa menyampaikan aspirasinya tanpa perlu rasa takut, tapi lewat fenomena politik hari ini yang sudah dikooptasi kepentingan oligarki tadi akhirnya perubahan di sektor rill dan perbaikan kesejahteraan rakyat kian nahas.