Scroll untuk baca artikel
Kolom

26 Tahun Sesudah Reformasi 1998

Redaksi
×

26 Tahun Sesudah Reformasi 1998

Sebarkan artikel ini
26 Tahun Sesudah Reformasi 1998
Ilustrasi foto/CNN Indonesia

Banyak orang tewas terpanggang. Aparat keamanan menghilang. Api dan asap dimana-mana. Mosista Pambudi mengabadikan keadaan itu dengan dua gambar menawan : Awal Tragedi serta Capung-capung dan Kabut Kerusuhan.

Foto Awal tragedi menampilkan seorang laki-laki bertelanjang dada berlari-lari membawa bendera di dekat pos polisi Grogol yang dibakar massa pada 13 Mei 1998. Sedangkan foto Capung-capung dan kabut kerusuhan dibidik dari puncak Gedung Antara, Merdeka Selatan menggambarkan helikopter aparat keamanan yang melayang-layang tak berdaya menembus kabut dari asap gedung-gedung yang dibakar massa.

Hari berikutnya, 14 Mei amuk massa masih terus berlanjut. Jaka Sugiyanta dan Hermanus Prihatna memotret kerusuhan di kawasan Tanah Abang dan Saptono merekam mobil-mobil yang hangus dibakar di Jalan Mangga Besar.

Sementara Oscar Motuloh, Yudhi Soerjoatmodjo dan Hadijanto merekam berbagai kejadian pada 15 Mei 2008. Saat itu kerusuhan di pusat-pusat ibukota telah berhenti, namun di pinggiran ibukota massa masih mengamuk.

Setelah amuk massa tak terkendali itu yang tertinggal adalah kehancuran dan puing-puing. Bangkai-bangkai kendaraan yang dibakar massa menumpuk di mana-mana, di Cileduk misalnya yang disajikan secara menarik melalui foto berjudul Puing Angkara karya Hadiyanto.

Tetapi juga korban manusia jatuh dimana-mana. Ratusan manusia –entah siapa-terpanggang api di berbagai pusat perbelanjaan dan dimakamkan secara massal dekat Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur.

Dan pada 18 Mei 2008, Mosista Pambudi mengabadikan prosesi pemakaman massal korban kerusuhan di TPU Pondok Rangon. Foto berjudul Korban Kerusuhan itu menggambarkan sejumlah peti mati dan petugas yang menggali liang kubur bagi mayat-mayat gosong yang diketemukan di berbagai pusat perbelanjaan.

Hampir seluruhnya tanpa identitas yang jelas, dan dimakamkan begitu saja. Mereka juga korban, tetapi kelurganya malu mengakuinya, khawatir dengan stigma penjarah.

Usai kerusuhan, Gerakan mahasiswa semakin meluas. Tuntutan politik mereka semakin meluas. Kali ini yang menjadi sasaran adalah gedung wakil rakyat di Senayan. Berbondong-bondong mahasiswa menuju Gedung MPR/DPR. Yusnirsyah Sirin dan Saptono memotret peristiwa pendudukan gedung MPR/DPR oleh para mahasiswa.

Anak-anak muda tanpa kenal takut, berjaket almamater dengan celana jins belel memutuskan menduduki gedung MPR/DPR dalam arti yang sebenar-benarnya.

Entah siapa yang memulai, puluhan mahasiswa memanjat puncak kubah Grahasabha Paripurna, lantas berjingkrak-jingkrak di atasnya. Resmi sudah lambang kedaulatan rakyat itu dikembalikan ke pemilik kedaulatan yaitu rakyat itu sendiri, para mahasiswa yang sudah jemu dengan suasana penindasan rezim otoriter Orde Baru selama berkuasa 32 tahun itu.

Fotografer Saptono mengabadikan peristiwa pendudukan kubah Gedung MPR/DPR itu dengan bagus. Dia memberi judul foto itu Perlawanan dari Puncak Kubah, yang diambilnya pada 20 Mei.

Tampaknya sang fotografer ikut pula naik ke atas kubah tersebut saat itu dan kameranya sempat mengambil gambar jenaka berisi sepasang muda-mudi yang duduk di atas kubah sembari memegang spanduk. Dia lantas memberi judul fotonya Kapan Lagi Dapat Kesempatan Begini. Wahh …..

Desakan dan tekanan politik akhirnya membuat Soeharto yang baru saja terpilih kembali sebagai Presiden untuk ketujuh kalinya menyerah. Apalagi demonstrasi mahasiswa kemudian didukung oleh sejumlah tokoh politik.

Empat tokoh oposisi utama Orde Baru yakni Abdurrahman Wahid (Ketua Umum PB NU), Amien Rais (Ketua PP Muhammadiyah), Megawati Soekarnoputeri (Ketua Umum DPP PDIP) dan Sri Sultan Hamengkubuwono (Gubernur Yogyakarta) bergabung menyatukan kekuatan.