Scroll untuk baca artikel
Terkini

50 Tahun Jurnal Prisma dan Tantangan Insan Akademis

Redaksi
×

50 Tahun Jurnal Prisma dan Tantangan Insan Akademis

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Redaktur Senior Prima Vedi R Hafiz mengatakan selama 50 tahun, meski sempat absen 11 tahun, Jurnal Prisma berhasil memotret sejarah sosial, politik dan ekonomi Indonesia. Dengan membaca Prisma, khalayak dapat memahami perdebatan intelektual yang terjadi di Indonesia terutama terkait masalah pembangunan, dampak pembangunan, siapa yang secara tidak adil menikmati hasil pembangunan dan lain-lain hal.

“Ben Anderson mencatat, Prisma adalah upaya dari para generasi muda intelektual Indonesia pada era 1970-an yang “menyusun” semacan blue print bagi masa depan Indonesia, terutama setelah berdirinya orde baru,” lanjut Vedi dalam Webinar Peluncuran Edisi Khusus Prisma di Usia 50 Tahun, Sabtu (4/12/2021)

Menurut Vedi, Prisma terlihat sangat pro pada modernisasi, liberalisasi namun berbungkus pluralisme.

“Tetapi ideologi liberalisme-pluralisme yang mengusung modernisasi pada akhirnya di era ‘73-‘74 tersingkir dengan mulai dibangunnya arsitektur politik orde baru yang dibidani oleh Ali Murtopo dan sekutunya, yang sifatnya malah lebih statis korporatis, otoritarian,” ujarnya

Praktis, liberalisme Ketika itu tidak lagi punya tempat, terang Vedi lalu terjadi perkembangan menarik, di mana akibat dari otoriterisme dan narasi sejarah yang dibangun orde baru memunculkan sikap kritisisme terhadap orde baru. Diwakili oleh para pegiat NGO termasuk Prisma dan LP3ES.

Dosen Universitas Paramadina, Atnike Sigiro menyampaikan Prisma berhasil mencatat secara konsisten problema-problema yang tak kunjung selesai dari sejarah perkembangan Indonesia sejak awal orde baru.

“ Tetapi para generasi penerusnya harus menyadari munculnya tantangan-tantangan zaman baru, disrupsi dan revolusi 4.0 yang mengubah bagaimana produksi pengetahun dilakukan,” sambungnya.

Selain itu, menurut Atnike tantangan lain dari kalangan yang ingin membangun sebuah kritisisme yang bukan hanya sebagai budaya pop, adalah tantangan dari : Akreditasi.

“Insan akademis utamanya, lebih memilih menulis di jurnal yang telah memilihi akreditasi nasional ketimbang menulis di jurnal non akreditasi seperti Prisma. Terjadi kelangkaan pengetahuan kritis akibat para akademisi yang menulis demi hanya mendapatkan cum,” lanjut Atnike.

Jurnal Prisma dan Tradisi Intelektual

Peneliti senior ekonomi politik dari LP3ES Fachry Ali mengatakan Jurnal ilmiah Prisma setelah selama 50 tahun meneguhkan tradisi intelektual di Indonesia, kini bisa dianggap kehilangan audiens, bukan karena Prisma tidak lagi menjadi ujung tombak pemikiran intelektual di Indonesia, namun karena salah satu pilar ilmiah yakni kampus semakin kehilangan tradisi ilmiah.

“Otomatis Prisma mengalami situasi lingkungan yang tidak mendukung. Padahal, Herbert Feith dulu menyebutkan Prisma lah satu-satunya jurnal pemikiran yang dibaca oleh lebih dari 10 ribu pembaca setiap bulan,” terangnya.

Namun menurut Kepala Program Penelitian LP3ES ini,  di tengah situasi de-intelektualisasi saat ini Prisma masih bisa survive, tentu sesuatu yang luar biasa.

“Prisma dulu memang tidak selalu disukai penguasa, tetapi kekuasaan juga harus menaruh hormat kepadanya. Tak lain karena kekuasaan juga butuh referensi dan menjadi pusat intelektual yang menyokong ide modernime pluralis,” imbuhnya.

Sementara itu, Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Indonesia Timur pada Kabinet Gotong Royong Manuel Kaisiepo menuturkan Jurnal prima merupakan narasi pembaharuan, modernisasi dan demokratisasi menjadi ikon orba. Tapi ada satu hal, yakni tesis Samuel Huntington yang dirilis pada era akhir 60an dan awal 70an bahwa stabilitas politik sangat diperlukan sebagai prasyarat pembangunan ekonomi.