BARISAN.CO – Hasil riset Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di media sosial, tercatat ada 126.970 percakapan internet di berbagai media sosial terkait pemintaan kritik dari presiden Joko Widodo (Jokowi). Muncul 44% sentimen negatif terhadap statement presiden.
Meragukan bahwa presiden benar-benar memiliki kesadaran genuine, di tengah telah semakin seriusnya persoalan kebebasan sipil di Indonesia. Rilis Economic Intelligence Unit menyatakan, telah terjadi penurunan kebebasan sipil dan demokrasi di Indonesia sejak 14 tahun terakhir.
Analis emosi netizen, ternyata lebih besar emosi ketakutan pada 2900 twitt, Anger 1000, dan joy 1100 twitt. Ketakutan telah mendominasi ruang digital netizen.
Direktur Center for Media & Democracy LP3ES, Wijayanto mengatakan publik lebih berprinsip bahwa pernyataan Presiden Jokowi yang minta dikritik. Diikuti dengan permintaan kepada Polri agar tidak semua kasus dilanjutkan, justru dibaca sebagai niat yang meragukan, apakah benar muncul dari usul genuine presiden.
“Yang patut dicatat adalah munculnya fenomena di mana anak-anak muda telah terlibat aktif dalam percakapan. Bukti bahwa Generasi Z sudah mulai engage pada peristiwa politik. Kewargaan digital baru telah memunculkan kesadaran akan hak-hak warganegara via aktivisme digital oleh anak muda,” terangnya.
Indriaswati D Saptaningrum dari UNSW Law School, ELSAM menyarankan agar dunia digital atau internet tidak diperlakukan sama seperti subyek regulasi yang lain, seperti lingkungan hidup, persaingan usaha atau lainnya.
“Hal itu karena internet dikembangkan sebagai bagian dari inovasi teknologi. Implikasi tertentu dalam aspek regulasi lebih karena arsitektur internet sejak awal didesain open sistem,” sambungnya.
Indriaswati menjelaskan, negara tidak pernah ada dalam desain awalnya meskipun dalam kesejarahannya internet menjadi bagian dari proyek keamanan negara. Tetapi internet tidak selalu dibuat seperti regulasi lainnya. Sehingga negara tidak akan pernah bisa mengontrol dan mendominasi.
“Selau ada celah di mana orang yang mengerti cara bekerja teknologi ini, akan selalu bisa mengantisipasi dengan baik. Contoh kasus, jika ada regulasi blocking, maka dalam lima menit bisa lolos lagi,” imbuhnya.
Relasi kekuasaan
Ketua YLBHI Asfinawati, menyatakan ada empat masalah dalam relasi kuasa kadang digunakan dalam mengambil keputusan yang sesuai dengan kepentingan penyelenggara negara.
Pertama, ketika Jokowi menyatakan cloroquin ampuh sebagai obat corona dan ternyata salah kutip. Menkominfo kemudian hanya meralat dan mencabut stempel “disinformasi” keliru tersebut. Maka kisahnya berbeda jika hoax dilontarkan oleh warga negara biasa.
Kedua, Ada persoalan ketika banyak orang ditangkap dengan siar kebencian. Tetapi tidak dipahami bahwa siar kebencian dalam kovenan Hak Sipil dan Politik hanya menyangkut “segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum”.
Sementara menurut Kapolri siar kebencian adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan dan lain-lain. Kedua hal tersebut terlihat amat jauh bedanya.
Ketiga, Surat telegram Kapolri No ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 tentang dihidupkannya kembali pasal penghinaan presiden dengan menggunakan pasal 207 KUHP yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Padahal MK menyatakan bahwa pemegang kedaulatan tertinggi adalah rakyat, dan secara esensi presiden tidak boleh memperoleh perlakuan istimewa karena rakyat pemegang kedaulatan tertinggi, yang kalau dipaksakan akan rentan menimbulkan ketidakpastian hukum karena kritik akan dianggap penghinaan.
Keempat, Persoalan menyampaikan pendapat di muka umum. Penggunaan kata “ditunggangi” yang dilontarkan oleh para pejabat tinggi negara ketika mengomentari aksi-aksi mahasiswa yang menolak UU Omnibus Law, mirip sekali dengan idiom-idiom zaman orde baru.
Lontaran ditunggangi tersebut kemudian disambut oleh Kapolri dengan menerbitkan telegram No STR/645/X/PAM3.2/2020 tanggal 2 Oktober 2020 yang memerintahkan cyber patrol dan melakukan kontra narasi isu-isu yang menyudutkan pemerintah di medsos. Juga telegram Kapolri yang melarang aksi aksi mahasiswa di tingkat hulu dan hilir.
Asfinawati berpendapat bahwa langkah-langkah itu menyalahi wewenang karena polisi tidak punya wewenang mencegah aksi, dan menurut pasal 30 UUD 1945 dan amandemennya tugas kepolisian menjaga keamanan dan ketertiban, bukan melakukan kampanye terhadap pemerintah.
Ironisnya menurut Asfinawati lagi, ternyata di Indonesia orang ditahan tidak untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam KUHAP, tetapi untuk dihukum.
Demokrasi di Indonesia juga telah terkikis sangat dalam karena ditemukan Badan Intelijen Negara melakukan eksekusi berupa telepon kepada tiga kampus yang melaksanakan diskusi tentang Papua. Padahal, tugas intelijen negara hanya melakukan pemantauan, temuan-temuan dan analisis dan bukan tindakan eksekusi.
Asfinawati juga menyampaikan selama 2020 ada 12 pola hambatan dalam penyampaian pendapat, diantaranya adalah melalui fasilias pendidikan, bea siswa, serangan digital (doxing,stigma, fitnah), penghalangan aksi, Kriminalisasi, Mengubah pemberitahuan menjadi izin dengan alasan covid, framing dan fitnah pendemo sebagai perusuhk poster palsu di Bali, penggunaan ormas dan lain-lain.
Diskusi tentang post ini