Scroll untuk baca artikel
Ekonopedia

Mengerti Utang Pemerintah [Bagian Sebelas]

Redaksi
×

Mengerti Utang Pemerintah [Bagian Sebelas]

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COTransaksi berutang saat ini dilakukan oleh Pemerintah di hampir semua negara. Hanya nilainya yang berbeda, baik secara nominal ataupun secara rasio terhadap PDB.

Penyebab utama dari fenomena ini adalah pengeluaran pemerintah yang cenderung terus meningkat di banyak negara. Sementara itu, penerimaan tidak selalu bisa mengimbanginya, sehingga defisit anggaran menjadi sesuatu yang lazim terjadi.

Dalam kasus Indonesia, defisit anggaran selalu terjadi. Nilainya secara nominal, cenderung meningkat. Ditambah ada pengeluaran nonbelanja yang cukup besar pada tahun-tahun tertentu, seperti investasi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Layanan Umum (BLU). Akibatnya, kebutuhan berutang menjadi bertambah. Bisa dikatakan, utang terus meningkat karena pengeluaran yang makin besar.

Pemerintah Indonesia era Presiden Jokowi mengemukakan beberapa alasan tentang mengapa pengeluaran itu bertambah besar sehingga utang terus meningkat. Antara kain disebut soal ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas menimbulkan tingginya biaya ekonomi yang ditanggung oleh masyarakat hingga rendahnya daya saing nasional. Menjadi dasar pemerintah mengakselerasi pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Pemerintahan Jokowi mengatakan telah memutuskan untuk menjakankan kebijakan fiskal ekspansif. Yakni, Belanja Negara lebih besar daripada Pendapatan Negara untuk mendorong perekonomian tetap tumbuh. Selain mengejar ketertinggalan infrastruktur, kebijakan fiskal ekspansif dikatakan perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia. Antara lain melalui alokasi anggaran pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial.

Lebih lanjut dijelaskan adanya kebutuhan masyarakat yang mendesak dan tidak dapat ditunda. Pendapatan Negara belum cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan tersebut sehingga menimbulkan defisit yang harus ditutupi melalui pembiayaan atau utang. Pemerintah yakin bahwa utang tersebut aman karena digunakan untuk belanja produktif.

Penjelasan tentang utang sebagai bersifat produktif sebenarnya dilakukan oleh pemerintahan pada era pemerintahan sebelumnya. Era Soeharto sudah secara jelas mengedepankan penjelasan tentang perlunya berutang untuk percepatan pembangunan ekonomi. Era setelahnya pun tidak ada yang mengaku untuk keperluan konsumptif.  Masing-masing era hanya berbeda dalam mengemukakan program prioritasnya, serta besaran nilai utang yang dibutuhkan.

Khasanah ilmu ekonomi pembangunan arus utama (mainstreams) sejak tahun 1960an telah mengenalkan wacana tentang mengapa negara yang mulai membangun dibenarkan untuk berutang dalam besaran nilai yang cukup besar. Mereka butuh modal untuk investasi, yang idealnya didanai oleh tabungan masyarakat. Namun karena pendapatannya masih amat rendah, maka dana yang bersumber dari tabungan belum tersedia. Utang menjadi alternatif sumber dana, bahkan kemudian dianggap sebagai kebutuhan.

Selain itu, sebagian cukup besar kebutuhan barang modal dan teknologi harus didatangkan dari luar negeri. Untuk membayarnya, dibutuhkan mata uang asing atau devisa. Oleh karena nilai ekspor belum menghasilkan devisa yang mencukupi, maka diperlukan utang yang bersumber dari luar negeri.

Sejak era Soeharto, kedua alasan itu yang menjadi alasan teknokratis dari utang. Istilah yang lebih dikenal saat ini, yaitu utang produktif sebenarnya tidak berbeda jauh penalarannya. Pada era sebelumnya, utang pemerintah memang sempat lebih karena alasan kesulitan yang dihadapi rakyat. Contohnya utang untuk pemenuhan pangan dan kebutuhan lainnya yang mendesak dan terkait langsung keberlangsungan pemerintahan saat itu juga.