BARISAN.CO – “Tangguh” itu bisa berarti kuat sekali terkait pendirian, tabah dan tahan menderita. Atau sukar dikalahkan saking kukuhnya, dan sebagainya. Sementara “tumbuh” bisa dipahami sedang berkembang menjadi besar, menjadi sempurna. Sekira pilihannya mana yang didahulukan, “tumbuh” dulu baru kemudian “tangguh”, atau sebaliknya? Entah, sepertinya bukan demikian.
76 tahun ini, Indonesia memilih untuk “tangguh” sekaligus “tumbuh”, tidak terpisah. Saya juga tidak tahu kenapa memilih untuk “tangguh” dan “tumbuh”, kenapa tidak yang lain. Tapi yang pasti, kini Indonesia telah berusia 76 tahun.
Ada angka tujuh (7) dan enam (6). Berdasar numerologi al-Quran, angka 7 saya rujukkan pada surah ke-7 Al-Quran yakni surah al-A’raf. Kata al-A’raf berarti tempat mulia yang disediakan bagi mereka yang menerima risalah yang dibawa para nabi dan rasul. Dan, lazimnya dalam sejarah, masyarakat yang menolak kedatangan para nabi dan rasul akan mengalami nasib buruk. Seperti diluluhlantakkan dengan badai, banjir, atau pun penyakit pandemi, serta musibah-musibah lainnya.
Sehingga, ada dua jenis manusia, sebagai buah dari sikap yang mereka pilih. Pertama, mereka yang memperoleh keberuntungan. Kedua, yang menderita kesengsaraan. Mereka beruntung karena sedari awal sadar diri, dan memutuskan untuk mengikuti pesan-pesan kemuliaan yang dibawa para utusan Tuhan. Sementara yang mendapat bala, lantaran melakukan tindakan buruk, menganiaya diri sendiri, enggan berlaku baik pada orang lain, dan mengabaikan pesan agung para nabi.
Pun demikian angka 6, juga saya rujukkan pada surah ke-6, surah al-An’am. Istilah al-an’am berarti ternak, sebagai gambaran kepercayaan dan praktik penyembahan kuno sebelum Islam, yang menyediakan korban hewan ternak sebagai persembahan. (Tapi kan dalam Islam juga ada prosesi persembahan korban binatang ternak?) Persembahan kuno itu ditujukan kepada selain Allah, seperti kepada roh leluhur, kepada gunung, kepada laut, kepada matahari, kepada penguasa laut selatan, dan sebagainya.
Nah, akhirnya, surah al-An’am menegaskan bahwa jalan yang benar adalah jalan sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Ibrahim, yakni orientasi hidup dan mati umat manusia hanya kepada Tuhan, Sang Pencipta dan Pengatur alam. Bukan kepada selain-Nya.
Maka, tujuh dan enam mengandaikan bahwa negeri kita yang makmur gemah ripah loh jinawi ini, sedianya segenap kita sadar hanya akan bertuhankan Allah semata, tidak yang lain. Teknisnya, sebagaimana akhir surah al-A’raf, setia mengikuti tuntunan Tuhan dan menegakkan salat sebagai sarana menyimak dan meresapi nilai-nilai spiritual dalam asmaul husna, bersikap kritis, serta tetap bersikap rendah hati. Dengan demikian, negeri ini akan terangkat sebagai negeri (tempat) tertinggi di tengah pergaulan antarnegara.
Syahdan, Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh bukanlah omong kosong sekira merujuk (dan berbondong menghayati) kedua surah tersebut. Lebih lanjut, nominal 76, jika lagi-lagi merujuk pada urutan surah dalam Al-Quran, adalah surah al-Insan. Al-Insan adalah manusia, makhluk yang dimuliakan Tuhan.
Manusia, sebagaimana gambaran dalam surah tersebut, mulanya belum berwujud apa-apa, kemudian oleh kehendak-Nya maujud. Maujud dengan uluran sekian banyak sebab, artinya mustahil manusia bisa tumbuh dan tangguh dengan kemampuan dirinya sendiri. Dan, manakala pulang ke pangkuan-Nya, manusia juga mustahil sanggup mengurus dirinya sendiri. Oleh karenanya, sudah pantas bin wajar, manusia tidak bersikap egois.
Surah al-Insan mengisyaratkan betapa manusia adalah makhluk sosial. Betapa dia berproses menjadi, melibatkan tangan-tangan kreatif di luar dirinya. Tuhan pun menuntun, sang hamba akan meraih kehidupan yang indah plus nyaman hanya dengan meniti jalan-Nya.