Meski 80 persen populasi China terinfeksi Covid pada awal Desember lalu, pemerintah Indonesia tidak menerapkan aturan khusus bagi wisatawan yang datang berkunjung.
BARISAN.CO – Indonesia sambut baik kebijakan Pemerintah China yang membuka perbatasannya pada 8 Januari 2023. Target kunjungan wisatawan asal China sebanyak 253.000 orang pada tahun 2023 pun akan tetap dikejar. Hal itu disampaikan langsung oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno pada awal tahun ini.
Namun, dalam mengejar target tersebut, Sandi menyampaikan, perlu tetap diiringi kewaspadaan serta kesiapsiagaan untuk memantau, khususnya dari aspek kesehatan terkait Covid-19. Sejumlah upaya kesiapsiagaan yang dimaksud adalah dengan menggalakkan vaksinasi Covid-19 dosis booster, serta sertifikasi CHSE di berbagai destinasi wisata, hotel, dan restoran.
Meski waspada, pemerintah belum menetapkan prosedur dan syarat bagi wisatawan asal China ke Indonesia.
Sementara, menurut otoritas China, sekitar 80% populasi di negara Tirai Bambu itu telah terinfeksi Covid-19 sejak pembatasan dicabut pada awal Desember. Angka tersebut setara dengan sekitar 1,2 miliar orang, tetapi tidak dapat dikonfirmasi oleh pihak luar. Ini mendorong beberapa ahli pandemi memperkirakan, lebih dari 1 juta orang mungkin telah meninggal. Itu jauh lebih banyak daripada penghitungan resmi pemerintah China yang hanya sekitar 72.000 jiwa yang meninggal.
Gelombang kasus Omicron melanda China setelah pemerintah tiba-tiba mengakhiri kebijakan zero-Covid Desember lalu. Dicabutnya pembatasan itu sesaat sebelum dimulainya Tahun Baru Imlek dan Festival Musim Semi.
Pada hari Sabtu, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) China menyebut, sekitar 80% dari 1,41 miliar penduduk negara itu telah terinfeksi dalam gelombang kasus Omicron.
Pada minggu menjelang tahun baru Imlek, CDC Cina melaporkan 12.658 kematian, menambah jumlah korban pandemi resmi hampir 60.000, yang diyakini sebagian besar pengamat jauh di bawah angka sebenarnya. Hingga pembaruan yang meningkat drastis awal bulan ini, jumlah korban resmi dari gelombang ini dilaporkan di bawah 60 kematian.
Meningkatnya jumlah kasus pada bulan Desember dengan cepat membuat proses pengumpulan data kewalahan. Ditambah, sempitnya definisi tentang kematian yang disebabkan oleh Covid, penghitungan resmi segera muncul jauh di bawah kenyataan di lapangan, dan pemerintah dituduh kurang transparan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
China menolak tuduhan bahkan, beberapa pejabat kesehatan telah mengakui ketidaksesuaian data tersebut, tetapi mengatakan sekaranglah waktunya untuk fokus pada respons kesehatan.
Masalah data dan transparansi membuat para ahli mencari cara lain untuk memperkirakan dampak wabah.