BARISAN.CO – Mesti belajar pada Martin. Martin Suryajaya nama lengkapnya. Anak muda itu, saya kehabisan kata untuk melukiskan keluarbiasaannya, sungguh mengagumkan. Usianya jauh di bawah saya. Terpaut tujuh tahun. Ia generasi milenial, sedang saya kolonial. Ia mengerti banyak, dan memang menguasai, kajian filsafat. Ia menulis filsafat. Ia filsuf. Sementara saya pencari yang tak kunjung ketemu.
Nah, suatu ketika, dalam obrolan mendiskusikan bukunya di sebuah kedai kopi dekat kampus Unnes, Martin mengatakan bahwa Kiat Sukses Hancur Lebur merupakan eksperimen karya yang mendudukkan filsafat dan sastra.
Baginya, filsafat dan sastra ibarat dua sisi dari mata koin yang sama. Filsafat hendak membangun sistem pemikiran. Filsafat menyediakan kerangka pikir untuk melihat dunia secara jernih. Sehingga, sontak tebersit di benak saya, ia menolak modus filsafat postmodernisme.
Sementara sastra bertugas menjebolnya. Sastra menghancurkan sesuatu yang dianggap mapan. Sastra memprotes kenyataan yang dianggap tak menyimpan masalah.
“Kiat Sukses itu berarti naik, membangun, sedang Hancur Lebur itu turun, penghancuran.” terang Martin waktu itu, akhir tahun 2016, atau 2017 ya, saya lupa persis tahunnya.
“Filsafat itu menghasilkan cara pandang,” lanjut Martin, “dan dalam menghasilkan cara pandangnya, ia harus bertanggung jawab pada nalar. Sebaliknya, sastra bertugas, dengan kebebasan kreativitasnya menjebol semua yang dicipta filsafat. Kalau tidak demikian, tidak akan ada kemajuan yang sehat. Yang bakal tumbuh adalah kemajuan filsafat palsu.”
Dalami obrolan waktu itu, saya hanya jadi pendengar. Sungguh, di hadapan anak muda itu, saya adalah anak kecil yang mendadak gagu, berpengetahuan cupet, dan gampang haru. Betapa tidak, Ia masih begitu muda, tapi sanggup menulis buku berbobot dan tebal.
Buku Sejarah Estetika: Era Klasik Sampai Kontemporer, telah menjadi pembicaraan banyak kalangan sebagai karya monumental sekelas Sejarah Filsafat Barat-nya Betrand Russel.
Pun dengan Asal-Usul Kekayaan: Sejarah Teori Nilai dalam Ilmu Ekonomi dari Aristoteles sampai Amartya Sen, menurut Andrinof Chaniago, patut menjadi buku pegangan wajib Fakultas Ekonomi. Begitulah, ia satu-satunya anak muda, dan kemungkinan tidak hanya anak muda, di negeri ini yang sukses melahirkan karya filsafat sedemikian detail, begitu mendalam. “Kok bisa pintar begitu ya dia! Gimana belajarnya?”
Kuncinya: niat yang kukuh, dan disiplin waktu. Itu soft skill-nya. Sedangkan perangkat kerasnya berupa baca-tulis. Martin saat itu, yang kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, praktis hanya mengelola waktu pada dua kegiatan itu, kalau tidak membaca, ya, menulis. “Bangun tidur, saya menulis hingga jam makan siang. Kemudian membaca, dan menulis lagi. Malam, sebelum tidur, saya baca buat bekal menulis esoknya.”
Tidak anehlah, Martin menjadi lawan tanding yang sebanding Goenawan Mohamad. Meski beda generasi yang amat jauh. Dan, saya membayangkan seorang Goenawan Mohamad langsung geleng-geleng melihat kecanggihan berpikir Martin Suryajaya.
Saya bayangkan, lantas Goenawan Mohamad berinai air mata, bahwa masa depan intelektual negeri ini tidak seburam seperti yang dikhawatirkan banyak kalangan. Esais terkemuka itu patut berbahagia, akhirnya, bahwa usahanya untuk menjaga nalar kritis, dengan ketekunannya menerbitkan Catatan Pinggir bergayung sambut, dan bahkan langsung menjulang ke ketinggian langit tujuh.
Walau memang, kedua sosok beda generasi ini tampak berseberangan. Namun, saya tetap melihat di kedalaman nalar jernih keduanya, mereka saling menyapa, saling menghormat.