Scroll untuk baca artikel
Sastra

Puisi Tidak Ada Matinya: Kesaksian untuk Martin Suryajaya

Redaksi
×

Puisi Tidak Ada Matinya: Kesaksian untuk Martin Suryajaya

Sebarkan artikel ini

Oleh: Eko Tunas

BANYAK PENYAIR meramal, puisi akan sampai pada stagnasi. Penyair akan meninggalkan puisi, dan puisi akan mati. Menurut saya yang akan tewas adalah bentuk tunggal puisi Indonesia. Bentuk (form) tunggal yang telah sampai pada puncak eksperimentasi yang mengalami kejatuhan dari kreativitas ke jurang eksentriksitas.

Untuk itu perlu dipahami dulu kreativitas. Bahwa kreativitas dunia manusia modern adalah integralisasi dari kreativitas konseptual dan kreativitas sosial. Kreativitas konseptual berpuncak pada ilmu+seni+filsafat, kreativitas sosial dipuncaki politik — (Ignas Kleden). Jadi syarat kreatif dia telah menguasai ilmu, seni, filsafat, politik. Bukan waton beda, asal baru, new! — itu mah eksentrik bin gila…

Tampaknya inilah — kreativitas dalam artian sebenarnya — yang mau dilenyapkan oleh para “penguasa” politik identitas sastra Indonesia. Seperti yang tampak dalam banyak diskusi virtual puisi dengan pembicara para kolonial hasil didikan kaum feodal. Mereka mau melenyapkan content dalam puisi, sambil memujakan bentuk bahkan tehnik (teknologi hingga game puisi) — untuk tidak buru-buru menyebut artistika/estetika (-bahasa).

Bagi saya justru content yang akan menyegarkan sastra. Seperti yang saya sampaikan dalam satu diskusi virtual puisi. Bahwa ada banyak persoalan besar yang tidak tersentuh puisi. Persoalan yang bahkan hingga kini masih meninggalkan trauma. Sebutlah dari peristiwa G 30 S, reformasi (yang menghilangkan penyair Wiji Thukul) hingga Corona yang tidak ada seorang pun mampu menjelaskan secara pasti virus mematikan itu — bukankan ini ‘tema’ menarik bagi puisi yang acap bicara tentang kedalaman.


MARTIN SURYAJAYA dalam buku puisi obskur 3T, bagi saya telah banyak menulis berbagai persoalan sebagai content puisi-puisinya. Dari puisi demonstrasi atau protes yang biasa ditulis penyair Semarang (‘Lindu Aji‘), puisi dari penyair transjender yang bicara tentang dunia sex-obskur (‘Siti Sundari‘), hingga kemungkinan puisi paling tidak mungkin, puisi permohonan dana (proposal) dari penyair lembaga (‘Yayasan Pancaroba‘).

Seorang penyair kolonial (yang mbuntuti penyair pensiun.. bukan preman pensiun!) justru menilai bentuk puisi Martin itu dalam seni post modern sudah banyak yang melakukan di dunia dipatilele. Lagi-lagi dia bicara soal kebaruan — aneh aja — dia mementingkan new ketimbang news! Tentu bukan soal sudah banyak atau tidak, Tapi Martin telah melakukan penyegaran dalam sastra Indonesia dengan banyak menyuguhkan content segar yang tidak disentuh banyak penyair dungu kayak lu!

Bahkan dengan sikap kolonial-feodal dia menuding puisi-puisi Martin tidak lebih dari hasil rakitan (kayak bom aja..huhh!), untuk dia tidak menyebut kerajinan tentu. Betapa sembrononya dia sebagai orang yang diklaim sebagai kritikus sastra, tidak melihat bagaimana Martin telah melakukan banyak riset, sosiologi, antropologi, bahkan sampai pada post strukturalisme untuk menulis tiap puisi dengan sosial-historis berbeda. Seperti yang tampak pada puisi penyair Papua (‘Hary Sorendoreri‘), hingga kemungkinan bahasa paling tidak mungkin dari penyair obskur-absurd (‘Incisor Gulagat’). Seperti puisi yang saya tarik ini:

Samkara Bikara
Dubolu owolai murusu
Mimalah ursina sijulai-julai
Kutindu naafi hiluahmana
Usi-usi tonpari yato-yato
“Amalui, Amalui, marani bikara.”
Malebut unim kani bujajah
Dupu rusu bigonjaji kur kur
Karkara muskara owolai
Xilam Trung nah usi-usi
“Amalui, Amalui, marani birkara.”
Samkara bikara
Samkara birkara
Samkara upadi xilam trung nah usi-usi

Toh para penyair linglung itu menahbis bahwa Martin bukan penyair — walau obskur sekalipun — sambil nekad bilang: Martin tidak bisa menjadi penyair..! Sambil diperjelas bahwa bagi mereka, puisi ya semata bahasa ucap (?). Agaknya dari sini dimulainya lirisisme dan eksperimentisme hanya menjadi kelatahan bentuk semata, yang pada gilirannya menciptakan ketunggalan nilai itu (!).