BARISAN.CO – Pada jamannya, menjelang kemerdekaan 45, Chairil Anwar dicap sebagai penjahat sastra atau perusak bahasa. Tidak aneh, saat itu adalah era Sastra Melayu dengan bahasa serba terikat aturan, seperti pantun atau gurindam. Zaman kala kehidupan sastra pun, secara politik kolonial, sangat dipengaruhi penjajahan VOC Belanda.
Chairil muncul dengan puisi menggunakan bahasa keseharian: Aku orangnya sudah tahan/jadi terasing dari sekolah rendah. Atau teriakannya yang jadi terkenal: Mampus kau dikoyak-koyak sepi. Bahkan lebih kurangajar lagi Chairil menulis puisi ditujukan buat seorang gadis Batak, Dien Tamaela, menggunakan bahasa prokem Batak: Beta Patirajawane yang dijaga datu-datu/cuma satu.
Cap buruk yang ditimpakan kepada Chairil lebih mengundang sinis lagi. Kala dia menulis sajak yang jadi sangat populer: Aku ini binatang jalang/dari kumpulannya terbuang. “Lihat itu Chairil mengandaikan dirinya sebagai binatang jalang, sudah jalang..dari kumpulannya yang terbuang pulak..!” tohok para pantunis dan gurindamis van Sastra Melayu di jaman kolonial feodal.
Larik puisinya — terasing dari sekolah rendah — jadi kontravita terhadap kesendiriannya. Ia jadi terasing dari pergaulan para sastrawan Melayu saat itu. Sekaligus Chairil menyindir mereka sebagai: kaum sekolah rendah. Satu sindiran telak dari seorang penyair ekspresif sekaligus eksistensialis sejati.
Akan tetapi, lengkaplah Chairil sebagai pesakitan di mata hati mereka. Lebih sempurna lagi, dalam hidupnya yang terasing dan melarat, Chairil dicurigai atas sifat malingnya. Penjaga toko buku akan mengawasi, sebab Chairil suka mencuri buku. Pun petugas perpustakaan mengintai, karena Chairil suka menyobek halaman buku yang dibutuhkan.
HB Jassin sebagai satu-satunya sahabat, kena getahnya pula. Tak lain sebagai redaktur majalah Sastra, Jassin suka memuat sajak-sajak Chairil, dengan pujian seorang pengagum berat. Lontaran sinis pun terlempar kepada Jassin yang saat itu masih muda dan, maaf, berbadan mungil. “Lihat itu semeter salah,” telak mereka, “sudah semeter salah pulak..!”
Siapa sangka, kepenyairan Chairil telah memperkaya bahasa. Bahkan harus dikatakan Chairilah yang memposisikan bahasa, dari bahasa Melayu ke bahasa Nasional – Indonesia. Tegasnya, di bidang bahasa dan sastra, Chairil telah memerdekakan bangsa ini dari belenggu penjajahan yang berlangsung seratus tahun lebih. Satu jaman keterjajahan tak terbayangkan derita jiwa dan badannya. Seperti yang kemudian disemangatkan — istilah Bung Karno: progresif revolusioner — satu larik lagu kebangsaan yang konon hasil revisi Chairil Anwar:
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Hiduplah Indonesia raya
Bahkan relasi kepenyairannya tidak tanggung-tanggung. Para pemimpin bangsa, menggunakan relasi bahasa dan puisi Chairil. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Sjahrir, Tan Malaka, Bung Tomo, dalam pidato dan orasi mereka menggunakan bahasa dan spirit puisi Chairil. Tidak menggunakan gaya sastra Melayu.
Syahlah, hari kelahirannya, 26 Juli, diperingati sebagai Hari Puisi Indonesia.
*Dari berbagai sumber.