BARISAN.CO – SANUT MULAI makan nasi goreng, di bawah obor terbuat dari ceret terpancang bambu. Mukanya yang kocak melucu-lucu, membudut dan memelet-melet, menatapi sepiring penuh nasi goreng buatan Yu dari warung tidak jauh dari lingkaran Doger. Lingkaran orang-orang penonton mbarang seni lakon di alun-alun. Rembulan samar di antara rimbun beringin besar lalu langit terang. Di warungnya, Yu tersenyum-senyum mendengar celoteh Sanut membilang enak nasi gorengnya, di antara hentakan kendang dan kloneng saron gamelan.
Dari remang samping warung berjendela, berdiri Tarmi menggoda Yu, di antara isapan rokok kretek bibir merah. “Itu ponakanmu memuji nasi goreng buatanmu, Yu.”
Sahut Paimin dari mangkal becaknya, “ponakan ketemu gede.”
“Ketemunya di alun-alun, bolehnya malu-malu…”
Terdengar celoteh Sanut, “enak tapi pedes asin..!!”
Cetus Tarmi, “yang bikin pengin kawin..!”
Sahut Paimin, “ponakan tibaknya penakan..!”
Yu nyekikik, cetusnya, “Tarmi tiap malam kawinan..!”
Tarmi montok hitam khas Pantura, berok potongan ngebyak, duduk di becak menggantikan Paimin yang masuk medang di warung. Roknya terbawa duduk, sengaja mengebyakkan tebal paha bagai buka toko. Kena sinar lampu petromak dari warung, mengundang mata lelaki siwer wira-wiri. Sampai kemudian seorang Siwer menghampiri, bisik-bisik, tawa Tarwi nyekikik. Kemudian seperti rutin seru Tarwi memanggil, “Paimin..!”
Warung berdinding gedek bambu khas warteg asli, bisa setengah terbuka, dan ada bilik sempit. Meja berdaki waktu, aneka jajanan dalam pergelet atau gorengan di piring-piring. Warung nasi dengan lauk abadi sambelgoreng tempe, sayur asem, plus sambel terasi. Untuk Sanut, Yu selalu membuatkan nasi goreng andalan kesukaan pacar-pacar. Senyum Yu selalu mengembang, sekembang perempuan-perempuan berdiri menunggu. Terutama setiap becak Paimin mengayuh pasangan ke arah stasiun, menanjak sesaat di jembatan Belanda.
Di mulut gang seberang bioskop, seorang bocah lanang muncul. Setengah berlari menyeberang, menyusup ke alun-alun mengorang-orang. Melewati warung dengan perempuan-perempuan menunggu. Caung, penjual rokok bergerobak kecil, menegur, Koko..!” Si bocah lanang keburu menyusup ke lingkaran doger. Seorang perempuan bertanya, siapa, tapi Caung cuma menggeleng. Si perempuan, Manis, kemudian mengambil rokok ketengan, menyulutnya melalui semprong lampu minyak kecil. Gumam Manis di antara isapan rokok, “langgananku datang nggak ya…”
RUTIN YU berdaster bertemali pada bahu, menyemlohekan putih tubuh gemuk subur parobayanya. Panjang rambutnya digelung menjadi bulatan kecil di atas kepala, menambah kesegaran menyatu dengan kesedapan masakannya. Tak terbayangkan di hadapan penakan muda yang begitu imut manis sawomatang. Imut dan lincah-lucu di tengah arena doger. Menyongsongkan sepiring nasi bungkusnya si Bodor ke Nyi sinden di antara pengrawit sederhana. Lalu menari sigrak Sanut bersama sang ronggeng doger, Sipah, langsing gemulai. Berkain kemben selendang sampur sekenanya, juga rias dandan gelung konde.
Si bocah lanang, Koko (7), duduk nongkrong di antara kaki-kaki. Pandang mukanya berbinar-binar dalam sinar obor ceret, menyaksikan tarian bodor Sanut dan ronggeng encle. Perpaduan antara tari gemulai meski sigrak, dan tari lucu campur gerak silat. Walau tidak sepadan, tapi itulah yang justru menarik perhatian Koko, juga mengundang tawa segenap penonton. Hingga sampilah pada lakonan yang ditunggu dan disukainya. Terutama karena ia mengenal baik si bodor, bahkan Sanut sedia pasang badan untuk Koko. Ada rasa suka, saat dilihatnya Sanut menoleh ke arahnya seraya mengembangkan tawa. Untuk itu ia mesti bersiap dikerjain si bodor, dalam lakonan Bodor+Encle.