POLITIK kebencian yang digaungkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak hanya merusak tatanan dan etika politik politik dalam sebuah negara demokrasi, namun juga membelenggu hak kader untuk mengekspresikan pendapat. PSI tak lebih partai partai otoriter yang gemar memproduksi provokasi dan ujaran kasar dalam berpolitik.
Pemecatan terhadap kader terbaiknya yang juga anggota DPRD DKI Jakarta Viani Limardi menjadi contoh bagaimana PSI tidak memberi ruang perbedaan bagi anggotanya.
Secara umum, seperti diberikan media, DPP PSI memecat Viani karena sejumlah pelanggaran. Salah satunya adalah pelanggaran menggelembungkan laporan dana reses. Alasan lainnya, Viani disebut tidak mematuhi instruksi pemotongan gaji untuk membantu penanganan Covid-19 ala PSI.
Dalam surat pemecatan yang beredar, PSI bukan hanya memecat Viani dari keanggotaan partai, namun juga menggusurnya dari kursi DPRD. DPP PSI ingin mengesankan pemecatan kadernya karena alasan yang heroik, untuk menunjukkan ketegasan pada isu-isu yang digemari masyarakat.
Namun sesungguhnya tidaklah demikian. Ada kebohongan dan manipulasi isu di balik pemecatan Viani. Salah satunya karena Viani berani mengungkapkan fakta dan kebenaran tentang Gubernur Anies Baswedan. Viani berani menolak politik pembusukan dan permusuhan yang digiring oleh Plt Ketum PSI Giring Ganesha. Terlebih serangan Giring kepada Gubernur Anies murni hanya ekspresi ketidaktahuannya dalam berpolitik karena baru beberapa hari masuk ke ranah politik dan tiba-tiba diserahi tanggung jawab memimpin partai. Ditambah cekokan hoaks dari buzzer-buzzer yang dipelihara dengan asupan kebencian.
Sikap Giring tidak hanya menuai serang balik dari partai-partai lain yang risih dengan ucapannya yang jauh dari sosok politisi, namun juga membuat resah internal. Mereka yang bisa melihat realita dan fakta di lapangan seperti Viani.
Dengan berani Viani melawan arus pembodohan yang menghinggapi partainya. Beberapa kali Viani membuat postingan di akun media sosialnya yang memuji kinerja Gubernur Anies sesuai fakta yang ada di lapangan. Bahkan Viani berani menyerang balik buzzer-buzzer yang bermodal hoaks dan kebencian dalam menyerang Gubernur Anies.
Viani pun tampak membela Gubernur Anies ketika insiden dalam peninjauan vaksinasi menjadi bahan olok-olokkan buzzer.
“Jadi pesan saya, janganlah jadi tukang bully kayak zaman sekolah dulu! Berdebat dan kritik yang substansial. Selamat hari minggu semuanya. Selamat beribadah, Saya doakan pak Gubernur dan semua warga DKI Jakarta sehat dan aman. Besok kita kerja dan berjuang lagi. semangat!”
Dari sinilah para petinggi PSI yang sudah menjadikan kebencian kepada Gubernur Anies sebagai nafas partai, yang menjadikan lembaga DPRD DKI sebagai ajang balas dendam atas kekalahannya dalam kontestasi Pilgub DKI 2017, merasa Viani harus dihabisi agar kebobrokan PSI tidak semakin terungkap.
Sebenarnya, awalnya ikut berharap kiprah anak-anak muda di pentas politik mampu memberikan warna positif bagi pendidikan politik yang cerdas dan elegan. Tapi yang terjadi sekarang justru kejengahan kolektif melihat tingkah kader-kader PSI di pentas politik. Kasihan barisan pemuda, kaum milenial, yang selama ini diklaim dalam jargon-jargon politik PSI, akhirnya ikut terimbas keburukannya.[]