BARISAN.CO – Secara umum ada dua pendekatan dalam mendekati Tuhan, yakni jalan yang bersifat lahiriah, dan jalan kerendahan atau keluruhan di hadapan Allah.
Jalan yang bersifat lahiriah ini umumnya ramai peminatnya. Jalan yang disenangi banyak orang, seperti bolak-balik ke Baitullah, syiar dengan salat berjamaah, dan seterusnya. Sementara perjalanan menuju kehinaan dan keluruhan di hadapan Allah ini sangatlah sedikit. Butuh keikhlasan dan jujur di hadapan-Nya, yang ternyata tidak semua orang minat.
Sebab, amal lahiriah masih ada kemungkinan nafsu-nafsu membonceng. Masih mungkin buat si riya, dengki, dan iri bercokol manis di hati sang penempuh. Dengan mudah orang tampil taat di hadapan publik, tapi jauh di kedalaman hatinya tengah bertarung sengit antara ikhlas dengan riya, antara pengakuan hina dengan perasaan lebih unggul, lebih baik. Dan, sayang memang, pertarungan tersebut dimenangkan oleh perasaan lebih unggul dan sifat riya.
Sedangkan jalan kehinaan, di mana hati setiap penempuh penuh dengan rasa hina di hadapan Allah. Di mana pun berada, dia akan malu terhadap dirinya, dan minder membayangkan seluruh orang yang ada di sekitarnya lebih baik dibanding dirinya. Nah, hati yang diliputi oleh perasaan hina dan luruh di hadapan Allah, tiada ruang untuk pamer di hadapan sesama.
Pemilik jiwa yang demikian, yang tanpa pura-pura atau tiada mengada-ada, akan memperoleh anugerah dan perlindungan Allah yang tak disangka-sangka. Ia mendapat makrifat, meski acap kali si penempuh ini lagi berada di dalam penyimpangan dan dosa. Atau dalam keadaan diri yang sedikit amal lahiriah, atau baru sekadar bisa rutin menjalani yang fardlu.
Itulah kiranya maksud Syekh Ibnu ‘Athaillah menuturkan, “Jika Tuhan membukakan untukmu pintu makrifat, jangan kau tanyakan amalmu yang sedikit. Karena Dia tidak akan membukakan pintu makrifat, kecuali karena ingin memperkenalkan Diri-Nya kepadamu. Tahukah kau bahwa makrifat merupakan anugerah-Nya untukmu, sedangkan amalmu adalah persembahan untuk-Nya. Tentu, persembahanmu takkan sebanding dengan anugerah-Nya.”
Ahli makrifat itu tentu tidak sebatas bertumpu kepada amal saleh atau amal-amal lahiriah. Karena jauh yang lebih utama adalah kebersihan hati. Karena, banyak penempuh yang tergelincir, yang hanya mengandalkan amal yang tampak, yang justru kemudian berubah menjadi kendaraan hawa nafsu dan banyak ambisi. Kelihatannya saja rajin beribadah ritual, tapi belum bebas dari penyakit-penyakit hati, belum berlepas dari belenggu duniawi.
“Mereka hanya mengetahui yang tampak di kehidupan dunia, tetapi mereka lalai kepada kehidupan akhirat.” (Ar-Rum: 7).
Maka, bergembiralah, seperti pesan Syekh Zarruq, karena bisa jadi kita tidak akan mendapatkan jalan lain untuk mengenali Dia, merasai kehidupan akhirat sedemikian nyata.
Syekh Abdullah asy-Syarqawi menambahkan, dibukakannya pintu makrifat adalah bukti Dia mengasihi dan menyayangi kita. Dia menghadirkan wabah pandemi, misalnya, karena Dia hendak menggiring kita agar semakin merasai pentingnya berdoa. Pentingnya menghadirkan Tuhan dalam setiap keadaan, dalam setiap saat. Sehingga kita kenal Dia lebih dekat, dan makin akrab.
Maka jelas, makrifat adalah karunia yang lebih besar dan agung buat kita, ketimbang amalan-amalan lahir yang kita persembahkan kepada-Nya. Apalah arti hadiah seorang budak, walau bernilai tinggi, toh tetap hina dan kecil, dibandingkan hadiah dari seorang tuan, walau sedikit. Hadiah dari seorang budak manfaatnya hanya akan dirasakan oleh dirinya sendiri, bukan tuannya. Alhasil, amal ibadah yang sedikit, tapi diiringi makrifat, lebih baik daripada amal ibadah yang banyak minus makrifat.