BARISAN.CO – Market base mechanism diperlukan untuk mengatasi lama waktu yang dibutuhkan melalui perdagangan karbon (carbon pricing), terang Eisha M Rachbini dalam Diskusi Publik Fraksi PAN – MPR RI dengan tema Tantangan dan Peluang Ekonomi Indonesia serta Bauran Kebijakan dalam Menghadapi Issue Carbon Trading, Senin (15/11/2021)
Menurut peneliti INDEF ini ada beberapa hal yang harus dilakukan yakni; Pertama, Carbon trading: cap and trade, offsetting mechanism. Kedua, Non Trade Instrument: Pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja/result base payment (RBP).
“Dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia berkomitmen untuk pengurangan emisi GRK 41% pada 2030 (29% dengan usaha sendiri),” ujarnya.
Sektor kehutanan, strategi dan transportasi menjadi prioritas utama yang telah mencakup 97% dari total target penurunan emisi NDC Indonesia.
Selain itu terang Eisha, Indonesia berkomitmen untuk Net Zero Emission pada 2060. Dalam dokumen Long term strategies for low carbon and climate resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) Indonesia mampu mengurangi 50% dari kondisi as-usual terutama dengan dukungan internasional.
Sementara itu ekonomi senior Drajat Wibowo menyampaikan Perpres No 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan nasional, sudah cukup rinci menjelaskan tentang karbon pada pasal33dengan lead sectornya Menteri LHK.
“Kabon dan climate change tidak bisa bertentangan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) No. 13 dalam melawan perubahan klim dan dampaknya,” lanjutnya.
Drajat mengatakan masalah sustainability dan keberlanjutan berperan dalam meningkatkan ekspor dan ekonomi Indonesia. Efek multipliernya besar sekali ke APBN, lapangan kerja dan ekonomi daerah. Kelalaian mengurusi kelestarian terbukti memberikan kerugian besar baik bagi pengusaha mapun negara.
Perubahan iklim menjadi isu prioritas Joe Biden yang pada 27 Januari 2021 menerbitkan Executive Order (EO) 14008 yang cakupannya tidak hanya di dalam negeri Amerika Serikat (AS) tetapi juga di luar AS.
John Kerrry, sang tokoh kunci Paris Agreement, menjadi pejabat setingkat menteri di AS yang mengurusi climate change.
Amerika pun tidak hanya mengutus lembaga-lembaga lingkungannya saja untuk mengurusi climate crisis, tapi lembaga-lembaga keamanan nasionalnya juga diminta ikut terlibat. Karena, AS mengantisipasi isu climate change yang oleh AS diprediksi akan menjadi salah satu sumber konflik ke depan.
Drajat menambahkan yang menjadi kunci bagi negara berkembang adalah soal finance. Selalu ada komitmen dan selalu ada consensus tapi real mechanism tidak pernah bisa dijalankan sehingga uang 100 miliar USD yang selalu didengungkan sampai sekarang belum terbukti.
“Monetary value dari carbon agreement yang pertama paling real bisa dilihat pada 100 miliar USD. Itu pun masih panjang karena mekanismenya belum ada,” pungkasnya. (Luk)