Scroll untuk baca artikel
Terkini

Ombudsman RI Temukan 5 Cacat Administrasi Penyaluran Pupuk Bersubsidi

Redaksi
×

Ombudsman RI Temukan 5 Cacat Administrasi Penyaluran Pupuk Bersubsidi

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO Ombudsman RI menemukan 5 masalah yang berpotensi memunculkan cacat administrasi dalam program pupuk bersubsidi. Kelimanya adalah masalah sasaran petani penerima pupuk bersubsidi, akurasi data, mekanisme distribusi, efektivitas penyaluran, serta mekanisme pengawasan dan penyaluran.

Lima masalah tersebut diumumkan setelah melalui serangkaian kajian mendalam. Penyampaian hasil kajian dilaksanakan di kantor Ombudsman Republik Indonesia, Jakarta, oleh anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, Selasa (30/11/2021).

“Kebijakan yang berumur 52 tahun ini ternyata masih belum memberikan hasil yang setimpal,” kata Yeka.

Pertama, kata Yeka, Ombudsman menemukan bahwa penentuan kriteria dan syarat petani penerima pupuk bersubsidi tidak diturunkan dari sumber rujukan.

Padahal kriteria itu mestinya merujuk dari Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian, dan UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Kedua, pendataan yang dilakukan pemerintah dilalui dalam proses yang terlalu lama. Proses ini berujung pada tidak akuratnya data petani penerima subsidi pupuk.

“Ini buruk bagi perencanaan dan menimbulkan kisruh penyaluran pupuk bersubsidi,” kata Yeka.

Ketiga, masih ada persoalan transparansi dalam proses penunjukan distributor pengecer resmi. Hal ini beririsan dengan masalah terbatasnya akses petani untuk memperoleh pupuk bersubsidi.

Keempat, mekanisme program pupuk bersubsidi yang belum selaras dengan asas penyelenggaraan layanan publik, yakni konsep “enam tepat”: tepat jenis, jumlah, waktu, harga, mutu, dan tempatnya.

Kelima, belum efektifnya sisi pengawasan. Ombudsman mengendus adanya potensi penyelewengan dari masalah ini.

Rekomendasi

“Seharusnya program pupuk bersubsidi dapat menjadi instrumen meningkatkan produktivitas petani. Harapan kami, ke depan akan ada peningkatan produktivitas karena ini bisa lebih terukur ketimbang sebelumnya,” kata Yeka.

Ombudsman merekomendasikan beberapa poin atas temuan masalah ini. Namun yang paling penting, kata Yeka, harus ada perbaikan data penerima pupuk bersubsidi terlebih dahulu.

Dari data itu akan banyak opsi yang bisa ditempuh agar program ini berjalan baik, misalnya dengan memberikan 100 persen kebutuhan pupuk kepada petani tanaman pangan dan hortikultura dengan luas lahan di bawah 0,1 hektar.

“Jumlah petani dengan luas 0,1 hektar ini mencapai 60 persen dari seluruh rumah tangga petani di seluruh Indonesia,” kata Yeka.

Opsi kedua, memberikan pupuk subsidi hanya kepada petani komoditas padi dan jagung dengan luas lahan di bawah 0,5 hektar. “Jumlah petani padi dan jagung ini setara dengan 80 persen dari seluruh petani Indonesia. Pengalokasian khusus kepada mereka ini akan berdampak signifikan dan optimal,” ujar Yeka.

Nan tak kalah penting, Ombudsman juga merekomendasikan opsi agar stakeholder menyediakan 60 persen pupuk bersubsidi kepada petani komoditas strategis seperti diatur Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan dengan luas lahan di bawah 1 hektar.

Lebih rinci, Yeka juga menyebut perlunya digitalisasi pendataan, pengadaan, hingga distribusi. Data ini juga perlu ditampilkan di dalam suatu dasbor daring sehingga semuanya bisa terpantau dengan jelas oleh publik.

“Ombudsman RI juga mendorong keikutsertaan perangkat desa untuk terlibat dalam penyaluran pupuk bersubsidi. Sebab, tidak semua petani tergabung dalam kelompok tani,” katanya. [dmr]