Artikel berseri tentang BJ Habibie berikut adalah cuplikan buku “Saya Bacharuddin Jusuf Habibie (The Untold Story)” yang ditulis Andi Makmur Makka.
INILAH salah satu bab menarik dari buku yang diluncurkan Andi Makmur Makka, Sabtu (29/1/2022) lalu di Jakarta. Berada di halaman 55-59 dari buku setebal 500 halaman tersebut.
Ini cuplikan kisah masa kecil sang Presiden RI B.J. Habibie pada sekitar tahun 1950. Bab ini berkisah tentang kepindahan keluarga Habibie dari kota Parepare ke Makassar.
“Setelah ayah pindah dari Parepare ke Makassar, dia mendapat rumah dinas di pojok jalan Galesong. Sebelumnya, beliau telah menjual rumah yang sempat dibangunnya di Parepare. Dari simpanan yang dimiliki inilah, ayah saya akhirnya memiliki tiga rumah di Makassar. Satu rumah dinas dan dua rumah baru lainnya yang dibeli dari uang simpanan. Satu di jalan Mardikaya Raya dan lainnya di jalan Klapperlan…”
“… Rumahnya besar dan tepat berada di pojok jalan. Tanahnya sekitar 2.000 atau 3.000 meter persegi. Saya tidak tahu persis ukuran luasnya. Namun, halaman rumah itu dapat digunakan untuk bermain badminton.”
Begitulah Habibie menulis kenangannya saat itu. Tempat dia bertemu dengan seorang tentara yang akan menjadi tokoh penting negara ini di masa depan. Benar sekali. Pada usia sekitar 14 tahun, Habibie yang lahir pada 25 Juni 1936 itu bertemu dengan Pak Harto, seorang perwira menengah APRIS.
Saat itu Pak Harto adalah Komandan militer Brigade Garuda Mataram. Dia dikirim oleh Mabes APRIS di Jakarta untuk bertempur memadamkan pemberontakan Kapten Andi Azis yang mendukung Dr. Ch. R. Soumokil, Jaksa Agung Negara Indonesia Timur yang belakangan memproklamasikan Republik Maluku Selatan.
Padahal keluarga Habibie dengan keluarga Andi Azis punya hubungan yang dekat. Ini tentu saja membuat posisi keluarga Habibie menjadi sulit. Habibie menceritakan kesulitan tersebut dengan cukup lugas, terkait adat istiadat Arung/Raja Barru (Sulsel) ayah Kapten Andi Aziz.
Kemudian bagian tentang Pak Harto ditulis oleh Makmur Makka dengan cara yang cukup menarik di halaman 57 sebagai berikut: “Para perwira Brigade Garuda Mataram ini ditempatkan di sebuah mess perwira, tidak berapa jauh dari rumah kami.”
Selanjutnya, dituliskan pula: “Sejak itulah saya mengenal Pak Harto yang selanjutnya menjadi Presiden Republik Indonesia kedua. Waktu itu usia Pak Harto baru sekitar 28 tahun, dengan pangkat Letnan Kolonel. Di Makassar juga tinggal beberapa perwira lain, seperti Letkol Mokoginta dan Andi Jusuf Amir yang masih berpangkat Letnan Satu.”
Saya baru tahu juga bahwa satuan yang dipimpin oleh Pak Harto inilah yang menjadi cikal bakal Kodam Diponegoro, divisi militer yang membawahi Jawa Tengah dan DIY.