Artikel berseri tentang BJ Habibie berikut adalah cuplikan buku “Saya Bacharuddin Jusuf Habibie (The Untold Story)” yang ditulis Andi Makmur Makka.
SANG putera Indonesia ini memang lengket dengan dua hal yang sangat spesifik. Jerman dan pesawat terbang. The Untold Story menceritakan sesuatu yang unik, bahwa ketertarikan Habibie justru ke fisika nuklir bukan pesawat terbang!
Pada halaman 89-94 dikisahkan bagaimana cerita keras kepalanya Habibie untuk ke Jerman. Ada faktor Kengki, teman sekolah Habibie yang memberi dia inspirasi kenapa mesti ke Jerman di bab sebelumnya.
“Setelah pertemuan dengan Kengki, saya kembali ke Bandung. Saya katakan ke profesor saya bahwa saya ingin melamar agar mendapat beasiswa dan ingin belajar nuklir. Saya ceritakan teman saya ada yang sudah mendapat beasiswa ke luar negeri. Mungkin saya dapat belajar ke Delf atau ke kota lain, ke mana saja.”
Begitulah bab tersebut dibuka tentang begitu semangatnya Habibie yang masih baru duduk di tahun pertama sebagai mahasiswa ITB. Waktu itu nama ITB belum lahir, masih disebut Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung. Sebagaimana IPB adalah Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor. Dan Unhas adalah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Makassar.
Kengki yang disebut Habibie adalah kawannya bersekolah di SMA Kristen Bandung. Dia tamat SMA tahun 1954, dan langsung mendaftar di Fak Teknik UI jurusan Teknik Elektro yang kemudian menjadi Institut Teknologi Bandung.
Hanya enam bulan dia kuliah disitu akibat “diprovokasi” Kengki, nama panggilan Liem Keng Ki. Kawan sekelasnya ini keturunan Tionghoa. Belakangan Kengki memakai nama Laheru, Prof. Dr. dan menetap di Amerika Serikat. Habibie dan Kengki berkawan karib.
Bila Habibie melanjutkan kuliah di Bandung, Kengki tidak. Dia langsung mengurus dokumen untuk kuliah ke Jerman. Dan setelah ujian semester, saat Habibie liburan di Jakarta itulah dia bertemu Kengki.
Waktu itu Kengki baru saja mengurus visa di Kedubes Jerman. Sebab dia akan melanjutkan sekolah teknik penerbangan di Aachen, Jerman. Dia dapat beasiswa. Percakapan kedua orang muda ini lucu juga, seperti ditulis Makmur Makka.
Saat itu Kengki tengah memamerkan paspor dan visanya pada Habibie. Dan Habibie terheran-heran karena dia tidak tahu soal paspor dan visa itu.
“Boleh saya lihat paspor kamu? Ini foto kamu, ya? Hebat ada gambarnya.” Habibie terheran-heran. “Bagaimana kamu dapat semua ini?”
“Ya, dapat beasiswa.”
“Beasiswa apa?”
“Beasiswa ke luar negeri.”
“Oh, begitu ya. Saya juga mau.”
“Kamu tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Pertama, kamu belum lulus. Belum mempunyai ijazah P1. Selain itu, kamu mungkin tidak memenuhi syarat.”
“Kenapa?”
“Karena rata-rata nilai kamu di SMA rendah.”
Dan memang benar adanya. Rata-rata nilai Habibie di ijazah SMA rendah sebab dia hanya mendapat nilai tinggi di mata pelajaran eksakta saja seperti Matematika dan Fisika. Waktu itu namanya Ilmu Pasti dan Alam.
Untuk mata pelajaran sejarah, biologi, dan bahasa, nilainya pas-pasan. Habibie memang hanya mau belajar apa yang menurut dia menarik saja. Dan itu adalah Ilmu Pasti dan Alam.
Di bangku kuliah, Habibie memang jagoan dalam kedua bidang ilmu itu. Pelajaran ilmu pasti diberikan oleh Prof. Kuipers dari Belanda. Dosen ilmu analisa dan ilmu ukur juga orang Belanda, yaitu Prof. Terpstra. Untuk Fisika, diajar oleh Prof Bursma, orang Belanda. Dosen ilmu metalurgi adalah Prof Stromburg, orang Jerman.
Karena kecanduan ilmu pasti dan alam, Habibie melahap semua buku dan diktat yang ada. Itu diperolehnya dari kakak-kakak kelasnya di ITB yang kebetulan indekos di rumahnya, Jl. Imam Bonjol, Bandung.
Terus tanpa ikut kuliah dosen-dosennya, dia ikut ujiannya. Sekedar uji nyali. Dan lulus pula dengan nilai excellent. Saat itu, tidak ada ketentuan bahwa mahasiswa harus mengikuti mata kuliah para dosen terlebih dahulu sebelum diperbolehkan mengikuti ujian mata kuliah dosen tersebut sampai selesai.
Dia lulus semua dengan angka yang tinggi. Kalau dikonversikan sama dengan A. Nilai sempurna.
KARENA ingin ke Jerman, Habibie menghadap pembimbingnya di ITB, Prof Terpstra. Kengki yang menyarankan begitu. Tujuannya dapat rekomendasi. Dan entah karena apa, sang Professor memberikannya.
Habibie diberi surat pengantar, salinan dokumen nilai ujian plus tanda tangan. Bunyinya kurang lebih begini : “Bacharuddin Jusuf Habibie, walaupun belum selesai kuliahnya, dia telah melakukan ujian ilmu pasti, analisis ini dan itu, dan sebagainya dengan angka sangat baik.”
Diapun datang ke Jakarta untuk bertemu Muchdas, salah satu Direktur di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Habibie menceritakan masalahnya dengan polos. Melihat nilai-nilai Habibie, pejabat tersebut kagum.
Percakapan tentang kengototan Habibie ke Jerman ini terekam dengan baik di buku tersebut. Makmur menggambarkan momen tersebut dengan detail.
“Angka kamu bagus-bagus sekali.”
“Iya pak.”
“Ini menarik, Nak. Tapi begini ya. Pertama, kamu sudah terlambat. Jadi, kamu harus menunggu satu tahun lagi, tetapi kamu sudah dapat menggunakan angka-angka ini.”
Muchdas melanjutkan. “Kedua, kamu tidak bisa mengambil nuklir karena, menurut Keputusan Presiden yang bisa mendapat beasiswa ke luar negeri hanya mereka yang akan belajar konstruksi pesawat terbang atau belajar konstruksi kapal laut.”
“Oh, begitu. Jadi, nuklir tidak boleh?”
“Ya. Tetapi kamu harus menunggu tahun depan.”
“Tapi, saya mau sekarang, Pak.”
Habibie bersikeras. Dia tidak mau kalah. “Saya melihat teman saya mempunyai paspor. Saya juga ingin begitu.”
“Wah, hanya bisa bagian kapal terbang atau bagian kapal laut. Kalau begitu kamu bisa dikirim ke Australia, bukan ke Jerman.”
“Tidak, pak. Saya mau ke Jerman seperti teman saya.”
“Ya, tidak mungkin. Kamu harus menunggu satu tahun.”
“Saya mau sekarang. Sama seperti kawan saya itu.”
Kengototan Habibie ini akhirnya berbuah. Dia diberi kesempatan berangkat ke Jerman tetapi dengan biaya sendiri, bukan biaya negara.
Begitulah. Habibie pun berangkat ke Jerman. Dan the untold story-nya adalah Habibie awalnya tidak mau belajar pesawat terbang tetapi fisika nuklir.
Dia bersedia belajar konstruksi pesawat terbang karena mendengar dari Muchdas bahwa bagian itu banyak ilmu pasti dan ilmu alamnya.
Hasil pertemuan dengan Muchdas itulah yang disampaikan Habibie ke ibunya. Dan dengan upaya keras sang Ibu, Habibie pun untuk pertama kali naik pesawat terbang dari Jakarta menuju Amsterdam. Dan nyambung kereta api ke Bonn, tempat dia terdampar di sebuah penginapan mahasiswa sederhana. [dmr]