Politik industri nasional harus memilah mana jebakan-jebakan paradoks kepada industrialisasi, mana yang akan membawa hilirisasi yang mengandung muatan proses industrialisasi.
BARISAN.CO – Peneliti INDEF, Eisha Maghfiruha mengatakan dari riset tentang hilirisasi industri di Indonesia poin penting yang harus dicatat adalah dengan kepemilikan sumber daya alam (SDA) berlimpah.
“Indonesia harus bisa menemukan cara agar SDA dapat diolah oleh industri pengolahan dalam negeri dan menciptakan produk bernilai tambah tinggi,” sambungnya pada diskusi LP3ES di Platform Twitter Space @DJRachbini dengan tema Politik Industri Nasional dan Program Hilirisasi, Senin (7/2/2022).
Menurut Eisha tidak hanya mengandalkan ekspor bahan mentah yang tergantung pada volatilitas harga komoditas di luar negeri. Seperti pertumbuhan ekonomi kuartal IV ini yang bergantung kepada bahan mentah dan SDA dimana harganya di pasar internasional naik pesat.
Indonesia menurun dari negara midle menjadi negara lower midle income. Maka harus mengupayakan keluar dari jebakan midle income trap dengan industri yang mempunyai produk berniai tambah tinggi.
“Untuk itu memang dibutuhkan investasi untuk mengembangkan industri pengolahan yang dapat menghasilkan produk bernilai tambah tinggi,” imbuh Eisha.
Sementara, menurut Fachru Nofrian satu-satunya strategi ekonomi yang bisa menghasilkan akumulasi hanyalah Hilirisasi dan industrialisasi.
“Sayangya, di Indonesia muncul hilirisasi tetapi tidak mempunyai politik industri mumpuni, sehingga tidak terjadi industrialisasi,” terangnya.
Peneliti LP3ES ini menyampaikan tantangan utama dalam politik industri di Indonesia, terjadi paradoks yang seharusnya bisa diatasi oeh politik industri.
“Politik industri harus dapat memilah-milah mana jebakan-jebakan paradoks kepada industrialisasi, mana yang akan membawa hilirisasi yang mengandung muatan proses industrialisasi,” ujar Fachru.
Hambatan yang selalu muncul dalam politik industri adalah karena terlalu berorientasi pada finance atau keuangan. Sehingga indikator yang muncul sering salah sarah oleh sektor keuangan.
“Seolah-olah telah tercipta akumulasi petumbuhan, padahal bukan. Finance menciptakan target yang salah sasaran,” imbuhnya.
Politik industrialisasi
Cendekiawan Dipo Alam mengatakan peta industrialisasi di Indonesia sempat dibuat pada era kepemimpinan Presiden BJ Habibie. Namun terhenti dan hilang setelah BJ Habibie tidak lagi menjabat.
“Ironis, setelah reformasi politik industrialisasi malah ditinggalkan. Subsidi pupuk malah jadi bancakan korupsi di pusat dan daerah,” ujarnya.
Mantan Menteri Sekretaris Kabinet juga menyampaikan korupsi luar biasa terjadi pada subsidi pupuk.
“Padahal dulu ada Kuntoro Mangkusubroto ahli sistem ITB yang menciptakan UKP4 yang bisa memonitor sektor pertanian. Sehingga para Bupati, Kepala Desa, Parpol-parpol yang disetir oligarki tidak bisa bermain-main dengan pupuk,” terangnya. [Luk]