ENTAH apa yang menyebabkan penobatan Jakarta Kota Sastra Dunia (City of Literature) yang disematkan Badan Pendidikan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) 8 November 2021 sepi dari perbincangan dan kalah dari isu politik praktis. Apakah ini representasi dari minat baca bangsa ini sangat rendah? Padahal penghargaan ini menyetarakan Indonesia dengan Dublin, London, New York serta 49 kota metropolis lainnya yang memiliki tradisi sastra sekelas Pulitzer dan Nobel.
Seperti disitat dari situs resmi UNESCO, Jakarta sebagai satu-satunya kota di Indonesia yang masuk jaringan kota kreatif sastra dunia karena dianggap memiliki sejarah panjang dan memiliki potensi besar untuk peningkatan dan pengembangan sastra serta literasi.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyambut penobatan tersebut tidak dengan selebrasi atau pencitraan lewat humas partikelir. Justru, penghargaan UNESCO tersebut diwujudkan dengan sejumlah aksi nyata yang relevan.
Sebagai gubernur, dosen, intelektual dan mantan menteri pendidikan dan kebudayaan, Anies menerjemahkannya secara konseptual dan diimplementasikan dengan membangun pojok buku di sejumlah lokasi seperti di pusat keramaian, taman, stasiun MRT, komunitas dan pasar.
Jakarta memiliki sejarah panjang dalam literasi tepatnya sejak zaman kolonial. Artefak yang paling monumental, Jakarta sebagai tempat berdirinya Balai Pustaka. Sebuah lembaga penerbitan yang telah melahirkan buku dan sastra yang mewarnai Indonesia hingga saat ini.
Sejatinya, jejak Anies dalam mempromosikan Jakarta dan Indonesia sebagai Kota Sastra sudah diawali ketika menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Kerja atau masa pemerintahan Presiden Jokowi periode partama.
Kebijakan kontroversial Anies adalah keterlibatan Indonesia pada ajang Frankfurt Book Fair 2015. Dan Indonesia pun diundang menjadi peserta kehormatan dengan susah payah membawa 200 judul buku. Idealnya 1.000 judul buku.
Ketika itu Anies menyebut menjadi Guest of Honor dan Frankfurt Book Fair sebagai sebuah kehormatan dan kesempatan sangat langka dan luar biasa untuk Indonesia.
“Ini kesempatan untuk menunjukkan literasi dan kekayaan Indonesia,” kata Anies saat menjadi Mendikbud.
Kendati belakangan keikutsertaan Indonesia dalam ajang pameran buku yang terbesar setelah London Book Fair itu, saat itu mendapat gugatan sejumlah kalangan. Misalnya saja buku yang diterjemahkan dianggap hanya mewakili kelompok tertentu saja.
Buku yang diterjemahkan ke dalam ragam bahasa itu di antaranya Amba karya Laksmi Pamuntjak (bahasa Jerman), Pulang karya Leila S. Chodori (Jerman, Perancis, Belanda), Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan (Italia dan Inggris), Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai karya Goenawan Mohamad (Jerman) serta Putri Kemang karya Murti Bunanta (Jerman).
Termasuk gugatan lainnya terkait buku-buku yang diterjemahkan juga lebih banyak karya sastrawan atau penulis Jakarta. Termasuk soal representasi buku-buku atau sastra Islam yang tidak mendapat tempat. Belum lagi kontroversi soal dana Rp149 miliar.
Korupsi tidak terbukti walupun laporannya sudah ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Memang sebuah konsep atau ide hebat dan berani yang bisa mengujinya adalah waktu. Setelah sekian lama salah satu hasilnya bisa dirasakan Indonesia sekarang masuk dalam radar dunia dalam bidang literasi dan sastra.
Kota Budaya
Pembangunan infrastruktur tentu perlu. Tapi itu bukan yang utama. Pembangunan sumber daya manusia (SDM) lewat seni, budaya dan juga sastra juga penting. Ciri kota besar di antaranya memiliki pusat kebudayaan, pusat kesenian, ruang terbuka dan juga perpusatakaan.