Scroll untuk baca artikel
Terkini

Panen Raya Bukan Rezeki Petani Kita

Redaksi
×

Panen Raya Bukan Rezeki Petani Kita

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Bertani tidak pernah murah dan mudah. Ironisnya saat tiba masa panen raya, hasil produksi pangan jarang membawa untung bagi petani. Sehingga, petani terus berkutat pada lingkaran subsisten. Sudah jadi rahasia umum pula, bahwa sejak lama, separuh dari jumlah penduduk miskin di Indonesia berprofesi petani. Dan naudzubillah min dzalik, sampai sekarang proporsi itu belum banyak berubah.

Tiba-tiba wabah datang. Seluruh negara di dunia lantas menyiapkan kebijakan pangannya ke arah kemandirian yang tidak tergantung impor negara lain. Praktis, ekonomi negara bergerak di sektor-sektor terkait pangan. Di Indonesia pun demikian. Sebanyak 16,24% pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 disumbang oleh sektor pertanian, ketika sektor lain terpuruk di angka minus.

Namun di balik sumbangan besar pertanian itu, ada banyak kenyataan pahit yang dialami petani. Kabar terbaru menyebut, harga tomat jatuh di pasaran. Tomat yang normalnya di atas Rp10.000-11.000/kg, menjadi Rp1.500/kg di Jawa Tengah.

Bahkan di Pagar Alam Sumatera Selatan harganya anjlok Rp300/kg dan itu membuat para petani marah. Banyak yang kemudian membuang hasil produksi tomatnya ke jalanan, sebagai bentuk protes kepada pemerintah yang abai nasib mereka.

Dan bukan hanya tomat. Menurut akademisi pertanian Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta Rofandi Hartanto, kecenderungan yang sama juga terjadi pada komoditas-komoditas lain.

“Daging ayam di Jawa hanya Rp15.000-17.000/kg, umumnya sekitar Rp30.000/kg. Sorgum di banyak daerah rata-rata temui hanya Rp2.000/kg. Singkong bahkan hanya di bawah Rp1.000/kg. Kemudian, sawit di banyak daerah hanya Rp1.000 per tandan,” kata Rofandi, dalam acara Mimbar Virtual yang diselenggarakan barisan.co dengan tajuk Peningkatan Ketahanan Pangan Menghadapi Dampak Pandemi Covid-19, Selasa (25/08/2020).

Ironi lainnya adalah kebijakan impor hingga saat ini masih terjadi. Menurut Rofandi Hartanto, perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah kemungkinan hanya merespon 3 bulan ke depan atau kadang perubahan anggaran berupa kebijakan.

“Kebijakan impor kadang-kadang merugikan petani kita. Beras dan garam berapa tahun terakhir ini memberikan indikasi seperti itu. Produksi cukup, kita catat 10 provinsi itu, 3 provinsi di Jawa, kemudian berapa provinsi di Sumatera, kemudian Sulawesi. Ini kan sudah mencukupi dan melebihi kelebihan produksi untuk di daerah,” ujar Rofandi.

Tapi impor masih terjadi, kata Rofandi, dan kita perlu mengawasinya. “Jangan sampai rakyat terutama petani menderita karena kebijakan yang salah. Kita perlu serius dengan ketahanan pangan. Saya amati sejak 2007, kita tidak banyak melakukan hal-hal yang penting terkait ketahanan pangan kita,” kata Rofandi.

Untuk itu, yang harus diperhatikan adalah kebijakan. Rofandi menyarankan agar pemerintah mau melakukan penganggaran yang adil kepada sektor pertanian. Selain itu, perlu juga untuk memperhatikan UMKM pangan, sebagai jawaban langsung atas kebutuhan sektor pertanian untuk mengembangkan pengolaan, pengawetan, penyimpanan berbagai komoditas.


Penulis: Ananta Damarjati & Anatasia Wahyudi