Scroll untuk baca artikel
Opini

Tom Hagen, Gajah Mada, dan Penasihat-Penasihat Lainnya

Redaksi
×

Tom Hagen, Gajah Mada, dan Penasihat-Penasihat Lainnya

Sebarkan artikel ini

Banyak laki-laki terlena dengan pesona Don Corleone dan bermimpi jadi Don seperti dia, dan impian pretensius itu tidak bisa disalahkan. Pada yang paling terlihat, The Godfather memang mengajarkan kita kepemimpinan (leadership). Namun saya kira The Godfather lebih dari itu. Ia juga memuat kepengikutan (followership).

Tom Hagen, dalam hal demikian, adalah personifikasi followership yang paling kentara. Loyalitasnya teruji waktu. Selalu ada dia di belakang Don Corleone. Pun, Tom Hagen, lewat peran advocatus diaboli, setia meminjamkan sudut pandangnya sebagai penasihat sekaligus setan penyeimbang keputusan.

Belakangan saya melihat internet, rupanya Hagen cukup popular di kalangan motivator. Saya terkejut meski seadanya, ketika mengetahui satu-dua motivator mengatakan bahwa: Tom Hagen wajib dimiliki tiap kelompok, pemerintah, LSM, perusahaan, ataupun Karang Taruna yang ingin maju.

Saya kira si motivator ada benarnya. Posisi Tom Hagen tidak boleh kosong dalam kelompok manapun. Dan mungkin itu menjelaskan mengapa Presiden punya Watimpres dan Remaja Masjid sering memasukkan nama Pak Haji anu sebagai penasihat.

Tapi kalau boleh ngomong-ngomong soal Presiden dan lingkungannya, ada gak ya, figur Tom Hagen di dalam Istana? Saya kira ada meski saya tidak tahu persis. Tapi tentang itu, saya punya dua poin.

Pertama, kalau benar figur ‘Tom Hagen’ itu ada di Istana, jelas ia tidak menjalankan fungsinya dengan baik sepanjang 2020 ini. Ia sumber bencana atas ketidakmampuannya menasihati, sehingga, situasi krisis gagal membentuk presiden menjadi pemimpin.

Kedua, mungkin yang terjadi sebaliknya: ada terlalu banyak penasihat di sekitar Istana. Dan itu membuat presiden memiliki terlalu banyak akses ke begitu banyak solusi. Dalam beberapa kasus, kondisi tersebut lebih buruk daripada ketidaktahuan, karena hanya akan menggiring presiden ke perbincangan melelahkan. Jika benar demikian, pada gilirannya, presiden tentu enggan mempelajari apapun, dan memilih pengetahuan yang siap pakai. Lebih praktis. Tak perlu banyak penjelasan tentang proses, analisa risiko, ataupun nasihat-nasihat yang fundamental.

Dua poin itu sama-sama menjerumuskan kita pada situasi berbahaya. Ia berisiko membuang pengetahuan tentang nasihat kepemimpinan yang telah dikumpulkan selama berabad-abad. Lagi pula, mengingat banyaknya hambatan dan kesulitan dalam kepemimpinan, bagaimana seorang Presiden berharap menguasainya tanpa nasihat?

Maka, Pak Presiden, segera carilah penasihat yang punya visi kebangsaan, yang tidak punya loyalitas selain kepada Anda dan negeri kita. Jumlahnya tak perlu banyak, sebab sering kali, kebijaksanaan (dan kebenaran) letaknya bukan pada pada ‘jumlah yang banyak’.

Banyak pelajaran tentang itu. Bukan hanya Don Corleone butuh Tom Hagen. Ada juga Oda Nobunaga yang membutuhkan Toyotomi Hideyoshi. Pada zaman Majapahit, Hayam Wuruk juga membutuhkan Gajah Mada. Hayam Wuruk sebagai raja berperan memakmurkan dan loyal terhadap rakyatnya. Sementara, Gajah Mada mendapat amanah agar ia loyal kepada raja dan negerinya.

Yang jelas, dari sekian pelajaran yang ada, kita menemukan banyak kemiripan: pakar memberi nasihat dan pemimpin memutuskan. Demikianlah sehingga penasihat yang bijaksana memang selalu dibutuhkan di sisi pemimpin.

Sekarang, di depan mata kita, ada situasi krisis yang perlu diselesaikan lewat nasihat-nasihat kepemimpinan yang benar, dan dari orang yang benar. []