Oleh: Eko Tunas*
Barisan.co – Ada cara baca, dalam lomba baca puisi, yang telah menjadi model atau gaya. Model yang kemudian menjadi anutan banyak peserta, khususnya dari kalangan sekolah SMP atau SMA.
Saya menduga mungkin pelatihnya adalah instruktur MC atau pembawa acara upacara kemerdekaan. Sehingga gaya baca puisi yang ada mirip MC 17-an.
Karena telah menjadi model, cara baca puisi ini menjadi trend dalam setiap ajang lomba baca puisi. Anehnya, gaya inilah yang menjadi ukuran atau standar. Bahwa siapa pun yang mau jadi peserta, harus dengan gaya 17-an.
Lebih aneh lagi, juri lomba baca puisi di tingkat lokal atau bahkan nasional menggunakan anutan ini dalam pemilihan. Andai ada peserta yang tidak menggunakan model tersebut, seolah dianggap outsider.
Sekali pun, kriterium lomba baca puisi di mana-mana hampir sama, yakni secara internalisasi dan eksternalisasi. Atau lebih dalam dasar breakdown: vokal/intonasi, ekspresi/penjiwaan, interpretasi/penuangan,
penampilan/gesture+mimik. Tentu dari dasar penilaian ini, juri bisa lebih terbuka dalam menilai setiap peserta yang mungkin beragam gaya.
Demikian, sebagai acuan bagaimana demokratisasi seni juga tercipta dalam lomba baca puisi.
Sebagai tambahan, kecenderungan pendidikan seni di sekolah tampaknya sama memodelnya. Termasuk dalam pelajaran menggambar di SD yang kini lebih marak terjadi dalam lomba mewarnai.
Bagaimana dalam setiap lomba mewarna, tampak tiap peserta menggunakan tehnik mewarnai yang sama dan seragam. Ini menimbulkan seni itu sendiri sebagai pendidikan olah rasa hanya menjadi aktivitas yang mekanis.
Begitu pun yang terjadi dalam seni baca puisi yang banyak tampak dalam lomba-lomba baca puisi.
*Budayawan dan seniman serba bisa