Scroll untuk baca artikel
Kolom

Mengemudi Lembaga Filantropi

Redaksi
×

Mengemudi Lembaga Filantropi

Sebarkan artikel ini

KERETA Gajayana merapat dengan mulus di stasiun Purwokerto, weekend ini sebagaimana biasanya saya mesti ke Wonosobo untuk ngantor juga pagi harinya. Seusai sholat maghrib dan isya’ lalu jalan kaki sebentar menyusuri jalan Pemuda mengambil mobil yang terparkir di garasi salah satu kantor di Purwokerto.

Perjalanan tengah malam itu dilanjutkan dengan mobil ke kota “The Soul of Java“. Meski di kritik oleh risk menejemen di kantor tapi saya memang lebih senang pegang kemudi sendiri karena lebih asyik, adrenalin bisa terpacu dan nggak cepet pikun, katanya… Itu alasan saja untuk pengiritan, “efektif efisien” Bahasa korporat nya.

Mengemudi tengah malam sesungguhnya enak dan menyenangkan serta “gas-able” karena jalanan kosong, tapi kondisi jalan kadang tidak mendukung seperti bergelombang dan tidak ada lampu seperti di jalan lingkar Purbalingga yang saya lewati, baru saja kecepatan saya tingkatkan dari 40-60 km/jam tiba-tiba di depan meski remang terlihat ada kilauan metalik yang sudah masuk dalam jangkauan lampu dekat, maka dengan terkejut saya injak rem hingga ban berdecit dan hentakan ABS (Antilock Brake System) terasa di ujung pedal rem.

Nyaris saja motor tanpa lampu dengan dua anak muda tanggung tanpa helm itu tertabrak mobil. Motor pun melaju pelan tanpa merasa bahwa nyawanya hampir saja terenggut dan ulahnya yang tidak memenuhi kaidah berkendara yang aman itu bisa membahayakan orang lain pula.

Mengemudikan lembaga pada banyak hal memiliki syarat dan ketentuan serta etika yang beririsan dengan mengemudikan mobil. Karena ada ruang publik yang digunakan bersama, apalagi jika lembaga itu menggunakan dana publik maka kita mesti bersiap untuk memiliki etika dan sistem pelaporan dan keamanan yang baik dan di awasi oleh regulator yakni Kementerian Agama (Kemenag) serta masyarakat seperti tulisan-tulisan di Bus dan truk truk yang melaju “Hubungi no ini jika sopir membahayakan“.

Mengemudi mobil pribadi sebenarnya juga lebih komplek daripada mengemudikan Bus. Karena sopir harus menyiapkan lebih dahulu mobil, inspeksi selayaknya rutin di lakukan. Belum lagi harus merangkap peran menjadi kernet dan kondektur sekaligus.

Kerumitan akan lebih kompleks lagi manakala para penumpang nya yaitu anak anak rewel dan rebutan mainan serta nggak mau mengalah maka acara suka ria yang di harapkan malah menjadi ajang perang terbuka, apalagi jika ditambahi istri ikut rewel pula maka kelar rasanya hidup….

Mengemudikan kendaraan umum, apalagi milik perusahaan bonavid tentu lebih terjamin karena mesin senantiasa terkondisikan, tekanan ban, rem, lampu, dll. Senantiasa di inspeksi bahkan untuk trip yang panjang seringkali tersedia dua sopir yang bisa bergiliran.

Nah, karena tanggungjawab terhadap penumpang yang tinggi maka regulator pun mewajibkan uji petik kendaraan secara reguler. Pun mesti pula sopir lulus uji kepantasan dan kepatutan untuk mendapatkan SIM B atau C umum.

Karena tanggungjawab terhadap penumpang pula maka penumpang berhak untuk menilai kendaraan dan pengemudinya atau kepo terhadap pengelolaan nya sehingga jika kendaraan umum dengan aplikasi maka penumpang boleh me-rating mobil/motor atau pengemudinya sehingga terhindar dari bau apak helm atau jaket pengemudi yang sudah tiga purnama tidak di cuci.

Demikianlah yang terjadi pula pada lembaga filantropi, sesungguhnya besar atau kecil lembaga tersebut adalah sama-sama lembaga publik yang mengelola dana amanah, maka harus tunduk pada regulasi-regulasi yang di berlakukan pada lembaga publik tersebut dan tunduk pada kepantasan dan kepatutan norma norma yang berlaku secara makruf.