LELAKI yang terbaring di atas dipan sebuah puskesmas itu bernama Diran. Sehari-hari ia bekerja sebagai petugas keamanan di kantor kepala desa. Orang kampung biasa menyebutnya dengan sapaan Hansip Diran. Raut mukanya terlihat pucat. Kondisi tubuhnya semakin melemah. Berhari-hari tak sesuap makananpun yang melintasi kerongkongannya.
Meski di lengan kanannya terlihat jarum infus menancap. Namun begitu aliran cairan infus itu seperti enggan menetes. Beberapa kali perawat melonggarkan tekanan infusnya namun sebanyak itu pula infus itu seperti enggan untuk mengalir. Nyawa lelaki itu bak sudah berada di ujung rambut.
Entah bagaimana mulanya, pagi itu seolah-olah telah terjadi keajaiban Pada diri Hansip Diran. Tubuhnya tiba-tiba menghangat. Tetesan infusnyapun lancar mengalir. Semalam suntuk Mak Darsem tak tidur. Janda tua itu seperti tak sedikitpun memperdulikan letih badannya. Entah sudah berapa rakat sholat tahajud ia dirikan. Lututnya yang sudah reyot dan gemetaranpun tak ia pedulikan.
Setiap kali ia sujud, air matanya seperti tumpah begitu saja. Permohonannya hanya satu yaitu agar anak semata wayangnya segera diberi kesembuhan. Perempuan tua itu sungguh tak dapat membayangkan bagaimana jika nanti ia harus menjalani sisa hidupnya dengan kesendirian. Selain didera sepi tentu saja ia sudah tak memiliki harapan barang secuilpun.
Harapannya untuk menimang cucu yang lucu, mungil dan menggemaskanpun tentu saja akan sirna. Semalamam ia mengetuk pintu langit. Mengadukan seluruh nestapanya.
Pagi itu Mak Darsem masih terlihat berkomat-kamit meneruskan rapalan doanya meski semalaman ia telah bertahajud. Entah mengapa perempuan tua itu tiba-tiba saja terlihat lebih tua daripada biasanya. Mungkin karena ia sudah berhari-hari tidak tidur. Wajahnya terlihat kuyu sekali. Sementara itu di meja samping pembaringan anaknya terlihat sebuah mangkuk berisi tiga buah kembang terendam air.
Orang di kampung biasa menyebut rendaman kembang seperti itu dengan sebutan sajen Kembang Telon. Konon kabarnya tiga kembang yang direndam tersebut akan mampu menarik keluar makhluk halus yang telah merasuki tubuh sseseorang. Sebenarnya Mak Darsem tak percaya dengan hal-hal yang begituan.
Namun begitu ia tak cukup keberanian untuk menolaknya ketika tetangga kampungnya membawakan sajen tersebut kepadanya. Terus terang ia hanya tidak ingin menyakiti hati tetangganya yang begitu perhatian dengan musibah yang kini tengah menimpanya. Tak lebih dari itu. Dalam hati ia sebenarnya tertawa geli dengan kiriman sajen kembang telon tersebut.
Tapi ya sudahlah mau dikata apa lagi. Namanya juga keyakinan. Menurut orang-orang di kampung tempat tinggal Mak Darsem, Hansip Diran anaknya terkena sawan mata. Yaitu sebuah keadaan dimana mata seseorang tiba-tiba dapat melihat kegaiban. Biasanya orang yang terkena sawan mata akan melihat sosok makhluk bermulut besar, berhidung besar, bermata besar dan berperut buncit berkeliaran di mana-mana. Lidah makhluk yang mengerikan itu kabarnya selalu terjulur menjijikkan.
Orang kampung biasa menyebut makhluk mengerikan itu dengan sebutan Buto Genthong. Masih menurut keyakinan orang kampung juga, Buto Genthong itu adalah makhluk jahat, rakus dan serakah. Ia menggunakan seluruh kekuatan dan kesaktiannya untuk merampas, mengambil dan merampok apa saja yang ia inginkan. Namanya juga makhluk jahat tentu saja sudah tidak peduli lagi dengan halal dan haram. Pendek kata embat saja jika memang ingin.
Ketika Mak Darsem masih tenggelam dalam sisa doa paginya, tiba-tiba saja pintu kamar rawat inap itu dibuka dari luar. Selanjutnya seorang dokter ditemani oleh seorang perawat terlihat berjalan masuk menghampiri Hansip Diran yang masih tergolek mengatupkan matanya. Di saku atas jas dokter tersebut terselip sebuah name tag.