Jean-Paul Sartre takut Nobel membatasi tulisannya. Dia adalah orang pertama yang menolak penghargaan tersebut.
BARISAN.CO – Jean-Paul Sartre adalah seorang filsuf Prancis multifaset. Ia juga seorang penulis naskah drama, novelis, aktivis politik, penulis biografi, dan kritikus sastra.
Sartre juga pendukung gagasan eksistensialisme. Menurutnya, eksistensi mendahului esensi dan semua manusia bebas.
Eksistensialisme tidak memiliki tujuan hidup. Tetapi, tujuan hidupnya bergantung dengan apa yang mereka pilih.
Singkatnya, para eksistensialis percaya, tindakan manusia ditentukan oleh manusia dan tidak dipengaruhi oleh dewa atau pengaruh luar. Sehingga, kita semua bertanggung jawab atas tindakan dan perubahan cara hidup kita sendiri.
Maka, tak mengherankan, dia menolak Hadiah Nobel Sastra pada Oktober 1964. Dia tidak ingin diubah dengan terlihat memihak terhadap budaya tertentu dengan menerima penghargaan semacam itu.
Sartre juga takut penghargaan itu akan membatasi tulisannya. Dia menjadi orang pertama yang menolak penghargaan bergengsi dunia tersebut.
Sartre tidak mengutuk Nobel. Dalam kesempatan penolakan itu, dia sendiri memaparkan alasan penolakannya menerima Hadiah Nobel Sastra.
Dalam suratnya kepada Akademi Swedia tentang keputusannya menolak Hadiah Nobel, dia berbicara tentang dua jenis alasan: pribadi dan objektif.
Alasan pribadinya yaitu dia tidak pernah menerima penghargaan apa pun. Begitu pula dengan Hadiah Nobel. Dia memegang sikap ini didasarkan pada konsepsinya tentang usaha penulis.
Sesuai dengan keyakinannya, seorang penulis yang mengambil posisi politik, sosial, atau sastra harus bertindak hanya dengan sarana miliknya sendiri, yaitu kata-kata tertulis.
Semua penghargaan yang mungkin dia terima membuat para pembacanya terkena tekanan yang dia anggap tidak diinginkan. Menurut pendapatnya, jika dia akan tanda tangan, itu akan berbeda dengan menandatangani “Jean-Paul Sartre” sebagai pemenang Hadiah Nobel.
Sejalan dengan pernyataannya, dia tidak mengetahui, Hadiah Nobel diberikan tanpa berkonsultasi dengan pendapat penerima. Dan, Sartre percaya, ada waktu untuk mencegah hal ini terjadi.
Namun, akhirnya dia memahami setelah Akademi Swedia membuat keputusan, maka tidak dapat mencabutnya. Sartre sendiri tidak menganggap Akademi Swedia maupun Hadiah Nobel sebagai alasan penolakannya.
Kemudian, dia juga mengungkapkan alasan objektifnya di balik penolakan tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh Sartre, satu-satunya pertempuran yang mungkin terjadi pada masa itu di front budaya adalah pertempuran untuk koeksistensi tanpa kekerasan dari dua budaya — budaya Timur dan Barat.
Sartre tidak bermaksud agar keduanya saling berpelukan. Sebab, dia paham permusuhan antar kedua budaya itu mau tidak mau harus berupa konflik.