Oleh: Awalil Rizky
Barisan.co – Informasi cukup mengejutkan tentang utang disampaikan oleh Pemerintah melalui publikasi Kementerian Keuangan berjudul APBN KITA edisi April 2020, kemaren. Posisi utang pemerintah per akhir Maret 2020 mencapai Rp5.192,56 triliun. Rasionya atas PDB sebesar 32,12%.
Terlepas dari hal ini disebabkan oleh dampak pandemi covid-19, timbul pertanyaan berapa kira-kira rasionya pada akhir tahun 2020.
Selama bertahun-tahun, besaran rasio utang dipatok dengan batas psikologis sebesar 30%. Batas yang diperbolehkan oleh Undang-Undang sendiri adalah 60%. Target rasio tahun 2020 semula juga dipatok sesuai angka psikologisi.
Sebenarnya batas itu telah sedikit dilampaui pada akhir tahun 2019. Namun perhitungannya tidak menjadi wacana publik, dan pemerintah tidak merilisnya. Ketika posisi utang diumumkan pada APBN KITA edisi Januari 2020 sebesar Rp4.779,28 triliun, disebut memiliki rasio atas PDB sebesar 29,8%. Perhitungan PDB nya baru bersifat prakiraan.
PDB 2019 diprakirakan oleh Pemerintah (Kemenkeu) sebesar Rp16.040 triliun ketika itu. Tidak ada pernyataan eksplisit, namun bisa dihitung dari rasio 29,8% tadi. Entah karena memang perhitungan atau karena kurang koordinasi informasi antara Kemenkeu dengan BPS. Bisa jadi karena terbebani memenuhi batas psikologis yang 30%. Padahal, selisih waktu antara publikasi APBN KITA dengan rilis BPS kurang dari sebulan.
BPS kemudian mengumumkan pada 5 Februari bahwa PDB 2019 sebesar Rp15.833,9 triliun. Dengan demikian, rasio sebenarnya menjadi sebesar 30,18%.
APBN 2020 semula merencanakan tambahan utang sebesar Rp 351,85 triliun. Perpres No.54/2020 tentang perubahan postur dan rincian APBN 2020 mengubahnya menjadi Rp1.006,40 triliun. Angkanya tercantum sebagai item pembiayaan utang pada kelompok pembiayaan. Bisa dikatakan sebagai rencana akan menambah utang sebesar itu.
Umpama realisasi dapat dilakukan seperti APBN yang diubah Perpres tersebut, posisi utang tidak hanya akan bertambah sebesar itu. Ada beberapa faktor lain yang turut menentukan. Yang paling berpengaruh adalah kurs rupiah pada saat nilai utang dinyatakan.
Posisi utang dinyatakan dalam rupiah. Padahal, secara rata-rata komposisi utang berdasar denominasinya saat ini: Rupiah (60%), dolar amerika (30%), valuta asing lainnya (10%). Harap diingat, utang pemerintah berupa surat berharga (SBN) dan pinjaman (loan). Ada SBN rupiah, SBN valas, dan loan valas.
Sebagai contoh, realisasi pembiayaan utang sebesar Rp435 triliun pada APBN 2019. Posisi utang hanya bertambah sebesar Rp361 triliun (dari Rp4.418 triliun menjadi Rp4.779 triliun). Kurs tengah Bank Indonesia pada akhir 2019 (Rp13.901) sedang pada akhir 2018 (Rp14.481), atau menguat. Hal sebaliknya terjadi pada tahun 2018, pembiayaan utang sebesar Rp372 triliun, namun utang bertambah Rp480 triliun, karena rupiah melemah.
Kembali pada prakiraan posisi utang akhir 2020. Akan bertambah sebesar Rp1.006,4 triliun sebagai faktor pembiayaan utang APBN. Diprakirakan bertambah karena pelemahan rupiah atas nilai utang terdahulu. Contoh perhitungan telah diberikan oleh APBN KITA edisi April 2020 atas posisi utang akhir Maret 2020. Dikatakan tambahan utang karena pelemahan rupiah, akhir 2019 sampai dengan akhir Maret 2020, sebesar Rp281,64 triliun.
Umpama nilai kurs 31 Desember 2020 adalah Rp17.000, maka pelemahan sekitar 22,29%. Asumsi inilebih moderat dari skenario berat Kemenkeu, yang menyebut rata-rata tahun 2019 sebesar Rp17.500, artinya akhir tahun di kisaran Rp18,500. Apalagi skenario sangat berat yang menyebut rata-rata kurs dapat mencapai Rp20.000. Namun,ada asumsi optimis dari Bank Indonesia yang yakin di kisaran Rp15.000.