Awalil RIzky menyoroti bagian penjelasan umum dari Perpu, Cipta Kerja yang menurutnya berbeda dengan narasi yang selama ini dibangun oleh otoritas ekonomi.
BARISAN.CO – Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 30 Desember 2022. Keterangan pers telah diberikan pada hari yang sama oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, bersama Menko Polhukam Mahfud MD dan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej.
Airlangga selaku Ketua Komite Cipta Kerja menyampaikan penetapan tersebut dilakukan karena kebutuhan yang mendesak untuk mempercepat melakukan antisipasi dalam menghadapi kondisi global, resesi, peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi.
Dijelaskan bahwa tantangan geopolitik akibat konflik Ukraina dan Rusia serta konflik lainnya yang masih terjadi menyebabkan berbagai negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim.
Kondisi krisis untuk sedang berkembang disebut sangat nyata, bahkan beberapa tengah meminta bantuan pendanaan kepada International Monetary Fund (IMF).
Ditambahkan bahwa Pemerintah tengah mengatur budget defisit tahun 2023 kurang dari 3% dengan mengandalkan investasi yang ditargetkan mencapai Rp1.400 Triliun pada tahun 2023. Padahal sebelumnya target APBN untuk investasi itu hanya sekitar Rp900 Triliun rupiah.
Beralasan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait Undang-Undang Cipta Kerja sangat memengaruhi perilaku dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri. Mereka dianggap masih menanti keberlanjutannya. Perpu dianggap penting untuk mengisi kepastian hukum tentang hal tersebut.
Penerbitan Perpu mendapat banyak tanggapan seketika. Diantara yang paling banyak berupa posisi hukumnya. Sebagai contoh, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai penerbitan PERPU ini jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi RI, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo.
Dikatakan bahwa hal ini makin menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK.
YLBHI juga menilai penerbitan perpu tersebut tidak memenuhi syarat diterbitkannya yakni adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa.
Siaran Pers YLBHI mengatakan Presiden seharusnya mengeluarkan PERPU Pembatalan UU Cipta Kerja sesaat setelah UU Cipta Kerja disahkan, karena penolakan yang massif dari seluruh elemen masyarakat.
Lebih lanjut dikatakan saat itu Presiden justru meminta masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review, dan ketika MK memutuskan UU itu inkonstitusional, Presiden justeru mengakalinya dengan menerbitkan perpu.
Tanggapan aspek hukum diberikan pula oleh Denny Indrayana, ahli hukum tata negara dari UGM, melalui keterangan tertulis tertanggal 31 Desember 2022.
Denny, yang menjabat Wakil Menteri Hukum dan HAM di era Presiden SBY, menilai Presiden Jokowi telah melakukan pelecehan atau Contempt of the Constitutional Court.
“Perpu dinilainya memanfaatkan konsep kegentingan yang memaksa. Seharusnya ketika sebuah produk hukum dinyatakan tidak konstitusional pembuat undang-undang harus melaksanakan putusan MK tersebut. Bukan dengan menggugurkannya melalui perpu,” terang Denny.
Tanggapan aspek pertimbangan kondisi ekonomi diberikan oleh Awalil Rizky, ekonom senior Bright Institute yang dihubungi oleh redaksi barisan.co.
Awalil menilai adanya kontradiksi pertimbangan antisipasi dalam menghadapi kondisi global, resesi, peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi dengan berbagai klaim kondisi ekonomi Indonesia yang sangat baik dan akan tahan menghadapi tantangan tahun 2023.