Kemampuan cacing untuk memproses plastik menunjukkan bahwa plastik sangat efisien dipecah di saluran pencernaan makhluk itu. Mereka pada dasarnya seperti mesin pemakan
BARISAN.CO – Sejak ditemukannya material plastik tahun 1869 oleh John Wesley Hyatt banyak perubahan drastis dalam kehidupan manusia. Banyak manfaat yang didapat dari keberadaannya, baik sebagai kemasan maupun peralatan penunjang kebutuhan hidup lainnya bahkan dalam kebutuhan Teknik sipil juga membutuhkan material plastik.
Revolusi kemasan barang berjalan dengan pesatnya, hampir semua kemasan bahkan hingga kini menggunakan bahan plastik karena selain harganya yang terjangkau juga lebih fleskibel ketika digunakan dibanding bahan kemasan lain.
Begitu masifnya penggunaan bahan plastik dalam kehidupan manusia. Setiap tahunnya, sekitar 80 juta ton plastik polietilen diproduksi di seluruh dunia. Plastik tersebut digunakan untuk membuat tas belanja dan pembungkus makanan.
Setelah berjalan ratusan tahun, masalah pun muncul. Plastik menjadi sampah yang mengancam kelangsungan mahluk hidup, baik yang ada di darat maupun di lautan. Pencemaran yang ditimbulkannya sebab sangat sulit diurai oleh jasad renik (butuh ratusan tahun) mengakibatkan permasalahan serius bagi tanah, pemicu banjir sebab kebiasaan buang sampah sembarangan.
Tercatat banjir bisa melumpuhkan ekonomi masyarakat. Belum ekosistem laut yang terganggu akibat sampah plastik yang ikut berkeliaran ratusan ton jumlahnya. Ini jelas kerugian besar bagi kehidupan.
Revolusi daur ulang
Tapi seekor ulat yang dapat memakan kantong plastik bisa menjadi pemegang kunci untuk menangani polusi plastik.
Peneliti di Cambridge Univeristy pada tahun 2017 lalu telah menemukan bahwa larva ngengat yang memakan kandungan lilin di sarang lebah, juga dapat mengurai plastik.
Berdasarkan percobaan, ulat tersebut dapat memecah ikatan kimia plastik dengan cara yang sama saat mereka mencerna lilin lebah. Ulat ngengat Galleria mellonella itu, dapat menghasilkan lubang di kantong plastik kurang dari satu jam. “Ulat tersebut akan menjadi titik awal,” ujar ahli biokimia di University of Cambridge, Dr. Paolo Bombelli, yang merupakan salah satu peneliti studi tersebut seperti dikutip dari BBC.
Pada penelitian selanjutnya di tahun 2022 kemarin ilmuwan di University of Queensland Australia menjelaskan bahwa enzim usus mereka memunculkan harapan untuk pengembangan teknologi daur ulang plastik yang lebih canggih.
Chris Rinke, pemimpin penelitian, mengungkapkan bahwa waxworm kecil dan ulat hongkong (mealworm) memiliki rekam jejak yang baik dalam memakan plastik.
“Kemampuan cacing untuk memproses plastik menunjukkan bahwa plastik sangat efisien dipecah di saluran pencernaan makhluk itu. Mereka pada dasarnya seperti mesin pemakan,” kata Rinke sebagaimana dilansir Scientific American.
Kita masih belum sadar kalau pemalas
Penemuan ini tentu menjadi harapan besar bagi kelangsungan kehidupan di dunia ini. Kedepan penelitian lebih lanjut akan terus dilakukan untuk penyelesaian masalah pencemaran akibat sampah plastik.
Namun tanpa disadari bahwa semua ini awal mulanya sebab karena kemalasan kita sendiri. Ya, kita malas untuk buang sampah pada tempatnya.
Akibat dari perilaku tersebut persis seperti yang telah dijelaskan di muka. Artinya kerusakan lingkungan tersebut bukan salah plastik, sebab ia hanyalah objek dan kitalah subjeknya. Jadi seyogyanya kitalah yang patut disalahkan. Maka perubahan perilaku itu jauh lebih penting ketimbang ulat super tersebut. Secanggih apapun penemuannya, bila pangkal permasalahan tidak diselesaian akan mustahil teratasi.
Padahal kampanye buang sampah pada tempatnya tidak kurang digalakkan dari dulu. Bahkan beberapa kota pemerintahnya sampai ekstrim membuat kebijakan dengan ancaman hukuman denda. Itu pun masih belum jera. Nampaknya perbuatan malas bin abai ini sudah akut di masyarakat kita.