Scroll untuk baca artikel
Blog

Mendahulukan Keadilan dari pada Hukum

Redaksi
×

Mendahulukan Keadilan dari pada Hukum

Sebarkan artikel ini

Oleh: Syaiful Rozak*

“Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik” (Bernardus Maria Taverne)

BARISAN.CO – Hukum ditangan penegak hukum yang baik akan melahirkan sebuah putusan yang adil. Sedangkan hukum ditangan penegak hukum yang korup dan buruk akan melahirkan putusan yang diskriminatif dan tidak adil.

Kualitas hukum, adil atau tidaknya itu sangat bergantung pada penegak hukumnya. Penegakkan hukum bukan ditentukan oleh undang-undang, melainkan dipengaruhi dan ditentukan oleh manusia yang menjalankan.

Hal yang paling diharapkan masyarakat dari hukum adalah keadilan. Hampir dipastikan, hukum yang tidak memberi rasa keadilan akan menimbulkan ketidak percayaan publik pada hukum. Potret pengakkan hukum kita masih mengecewakan. Tingkat kepuasan publik pada penegak hukum masih tergolong rendah.

Hal itu terjadi karena seringkali tak berdayanya masyarakat lemah bila tersandung hukum dan lolosnya orang kuat yang berurusan dengan hukum. Hukum menjadi sesuatu yang menakutkan bagi masyarakat lemah, dan menjadi alat kepentingan bagi mereka yang kuat dan berkuasa.

Seorang ahli hukum terkemuka pernah mengatakan: hukum adalah anak kandung keadilan. Hukum yang dijalankan dengan tidak adil seperti anak yang durhaka kepada orang tuanya.

Meskipun demikian keadilan tidak turun dari langit, paling tidak diupayakan dan perjuangankan. Kita melihat fakta bahwa tidak semua hukum itu dijalankan dengan adil.

Saya bertanya-tanya: kenapa keadilan itu sulit ditegakkan? Terlebih menyangkut kasus korupsi. Adakah yang salah dengan sistem hukum kita?

jadi teringat kata bijak: “Keadilan itu bukan terletak dalam bunyi huruf undang-undang, melainkan dalam hati nurani hakim yang melaksanakannya.”

Saya berasumsi apa yang dinamakan kejujuran, integritas, nurani, empati dan komitmen pada moralitas adalah sesuatu yang langka, terlebih ketika sudah masuk sistem atau kekuasaan.

Padahal penegakkan hukum tanpa didukung sikap demikian, mustahil bisa dijalankan dengan baik dan adil. Hukum adalah kumpulan teks undang-undang yang mati, ia hanya akan hidup manakala dijalankan oleh manusianya.

Komitmen pada Moralitas

Berangkat dari asumsi bahwa penegakkan hukum tidak ditentukan oleh undang-undang, tetapi oleh manusia yang menjalankan, maka saya berpendapat untuk membangun sistem hukum yang baik dimulai dari manusianya terlebih dahulu.

Hukum tetap baik sepanjang dijalankan oleh penegak hukum yang baik. Sebaliknya kita melihat fakta ada penegak hukum justru tersandung hukum karena suap dan korupsi.

Membangun manusia yang baik dimulai dari pendidikan. Salah satu yang mengemban tugas mulia itu adalah sekolah dan perguruan tinggi. Kita menggantungkan harapan yang besar pada perguruan tinggi untuk melahirkan manusia-manusia baru yang cerdas, terampil dan berakhlaqul karimah. Dimana pun mereka berada akan setia pada kebaikan, berani jujur dan memegang teguh prinsip-prinsip moralitas.

Sayang kurikulum kita masih mementingkan kemampuan akademik mahasiswa guna menjawab tantangan dunia kerja, tetapi minus kejujuran, nurani dan akhlaqul karimah.

Sehingga prestasi itu diukur semata-mata dari kecerdasan, bukan dari kebaikan, kejujuran ataupun kebermanfaatan.

Disisi yang lain, tidak semua fakultas hukum itu ada mata kuliah “pendidikan anti korupsi” ataupun “pendidikan moral penegak hukum”. Padahal materi ini cukup penting untuk pengembangan karakter mahasiswa.

Saya kira sudah saatnya sebagai mahasiswa hukum, ataupun mahasiswa pada umumnya mulai sekarang kita berkomitmen bersama untuk berbuat baik, berkata jujur, tidak korupsi dan memegang prinsip-prinsip moralitas.