Scroll untuk baca artikel
Blog

Enam Masalah Ekonomi Politik dan Tiga Tantangan Hukum di Indonesia

Redaksi
×

Enam Masalah Ekonomi Politik dan Tiga Tantangan Hukum di Indonesia

Sebarkan artikel ini

Kalau ingin memberantas korupsi maka harus ada reformasi besar-besaran dari berbagai subsistem kenegaraan

BARISAN.CO – Pada saat acara Silaturahmi Guru Besar Insan Cita, Catatan Awal Tahun 2023 dengan tema Perspektif Guru Besar Ilmu Sosial, Prof.Dr. Didin S. Damanhuri mengutarkan hal menarik tentng situasi ekonomi politik di Indonesia. Menurut Prof. Dr. Didin S. Damanhuri ada enam masalah ekonomi politik di Indonesia.

Adapun masalah tersebut yakni, Pertama, Pertumbuhan Ekonomi yang tidak berkualitas. Pertumbuhan ekonomi RI saat ini rata-rata 5% saat ini dan sebelumnya.

Lebih tinggi dari negara maju. Tapi sayangnya pertumbuhan itu ternyata lebih terakumulasi pada 20% kelompok terkaya dan mengorbankan 40% kelompok termiskin.

Juga diisi oleh  sektor-sektor jasa yang padat modal, namun semakin kecil berasal dari sektor manufaktur dan pertanian yang merupakan kunci penciptaan lapangan kerja.

Kedua, Trade off antara Pertumbuhan dengan Pemerataan. Hal ini karena makin terjadi “supremasi swasta” di atas peran negara sebagai dampak swastanisasi.

Hal yang kebablasan sejak reformasi ketika IMF lebih menekankan peran swasta yang besar. Kesejahteraan masyarakat seakan dikorbankan karena mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi.

Ketiga, Demokrasi Politik yang makin merosot dan makin menjauhkan demokrasi ekonomi. Dengan indeks demokrasi yang semakin merosot sejak 2016 (menurut EIU).

Maka substansi demokratisasi ekonomi (Pemerataan) semakin jauh. Tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot (index MPI). rekening di bawah Rp5 miliar di bank semakin turun versus rek. di atas Rp5 miliar yang semakin naik fantastis.

Keempat, Semakin sulit tegaknya “Rule of Law” yang menjamin keadilan untuk mencapai keadilan sosial sebagaimana di negara-negara maju. Bisa dilihat dengan semakin banyaknya Perundang-undangan yang abai terhadap lembaga hukum Partisipasi publik.

Kelima, Makin lemahnya Civil Society bersamaan dengan makin kuatnya dominasi oligarki (ekonomi dan politik).

Media massa yang semakin tidak kritis dan makin merosotnya kontrol terhadap pemerintahan. Suara akademisi untuk kepentingan publik semakin langka. Ormas-ormas dan LSM makin terpinggirkan.

Ini karena benteng Check and balance DPR semakin absen karena tersubordinasi oleh kekuatan oligarki sehingga menimbulkan “sindrom ketakutan bersuara kritis” dalam ruang publik.

Keenam, Nilai-nilai kearifan lokal semakin pudar. Semakin banyak di antara masyarakat yang meninggalkan kesucian lembaga perkawinan. Juga ditinggalkannya nilai-nilai dan lembaga keluarga batih (extended family).

“Padahal menurut John Naisbitt, keluara batih itulah kelebihan Asia yang akan bisa mengalahkan Barat dalam kompetisi global,” terang Prof.Dr. Didin S. Damanhuri.