Dalam ilmu modern, strategi ala Kresna itu disebut tak-tik yang kemudian menjelmakan diksi politik.
WISANGGENI adalah anak muda yang terlahir dari tlatah trah Dewata. Bahkan namanya cukup menggetarkan para Dewa, wisaning geni, bisanya api.
Anak Arjuna dan bidadari Dreshanala, yang teruji di kawah Candradimuka dan lulus dalam pelukan Semar rakyat. Lebih tahbis lagi, dia adalah putra kesayangan Sang Hyang Wenang, dewanya Dewa.
Jadi kalau Gatotkaca, yang juga teruji di Candradimuka menjelma bionic man, Wisanggeni tetap manusia lumrah tapi memiliki kewenangan dari pemilik wewenang.
Dia anak muda tanpa tanding, ketampanannya mirip ayahnya yang dikenal sebagai lelananging jagad: kesatriaannya adalah separo dari pria sejagad. Lebih dari itu memancarkan aura Swargaloka dari sang ibu.
Lalu kesaktiannya, Kresna bahkan memutuskan di hari Bharatayudha Wisanggeni mesti diasingkan. Sebabnya kalau dia ikut perang, nggak ada lawan.
Perang hanya akan menjadi arena bermainnya, dan tidak ada lawan yang mampu mengimbangi main-mainnya. Kresna hanya akan menjadi sutradara perang, dengan strategi kuno yang bingung membaca medan laga penuh canda anak muda.
Dalam ilmu modern, strategi ala Kresna itu disebut tak-tik yang kemudian menjelmakan diksi politik.
Renne Descartes lebih menegasi dengan teorinya: politic is vuil: politik itu kotor. Mana mungkin dalam perang tidak ada tak-tik, tidak ada intrik. Bahkan yang kita hadapi perang antara saudara sendiri, Lima Pandawa dan Seratus Kurawa, tegas Kresna kepada Yudhistira pembarep.
Setiap dhalang wayang kulit punya carangan sama dalam melakonkan Wisanggeni. Dalam lakon Wisanggeni Lahir atau Wisanggeni Takon Bapa.
Ki Mantheb Soedarsono, Ki Enthus Susmono, maupun Ki Seno Nugroho. Ketiganya sudah almarhum, tapi jejak digitalnya masih tersimpan di YouTube.
Hanya dari kesamaan ketiganya, kita butuh tafsir. Tafsir modern atas seni tradisi, mengenai who’s who dan mengapa bagaimana Wisanggeni dalam jagad politik kebudayaan.
Mengapa ada penolakan terhadap Wisanggeni dalam keterlibatan dengan Bharatayuda. Keterlibatan anak muda dalam kancah politik. Medan politik yang berubah dari zaman ke zaman.
Apakah benar seperti yang pernah disesantikan Semar rakyat: dunia sudah tua. Dunia hanya milik para orang tua, sehingga citarasa sosial ekonomi budaya politik terbentuk sesuai dengan selera para orang tua. Itu sebabnya perang diciptakan supaya, orang sejagad mati bareng bareng bersama para orang tua yang memang telah bau tanah.
Lalu bagaimana dengan anak-anak muda asuhanku ini, tempelak Semar. Ah mereka tidak berpengalaman, masih bau kencur. Lho bukankah begitu mereka berkiprah, mereka akan menuai pengalaman.
Ya, tapi mereka cengengesan, mereka akan katawa-ketiwi. Bagaimana mungkin seperti yang mereka bilang, politik mesti dihadapi dengan kebahagiaan.
Itu karena mereka masih sangat muda, mereka mau menjalani hidup di masanya. Mereka tidak mau seperti para orang tua yang menghadapi hidup dengan masa tua dan trauma sejarah kematian yang memang hanya milik para orang tua.
Hidup mereka masih panjang, dan mereka mau menikmati hari-harinya yang penuh bunga dan embun di pagi hari.
Celakanya, para dhalang itu berpihak pada Kresna. Mereka tetap menahbiskan, Wisanggeni tidak akan ikut terjun di medan perang Bharatayudha. Sebab bagi mereka Bharatayuda adalah dunia wayang yang sesungguhnya. Bukan sekadar jagad pakeliran dengan bayang-bayang manusia.
Jagad wayang adalah Bharatayudha yang ditunggu, dinanti pertarungan antara saudara sendiri. Semar rakyat pun termenung, hanya ada satu cara mengubah carangan wayang, agar wayang menjadi dunia anak muda.
Ialah dengan menampilkan dhalang muda yang berpihak pada kemudaan dan kesatriaan bahagia penuh canda politik Sang Wisanggeni.