Scroll untuk baca artikel
Video

Ekonom: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk, Ini 9 Bukti Kegagalan Jokowi

Avatar
×

Ekonom: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk, Ini 9 Bukti Kegagalan Jokowi

Sebarkan artikel ini

Setelah satu dekade pemerintahan Presiden Jokowi, sejumlah tantangan ekonomi yang dihadapi Indonesia semakin memperlihatkan kegagalan dalam mewujudkan pertumbuhan yang berkelanjutan

BARISAN.CO – Ekonom dari Bright Institute, Awalil Rizky, menyampaikan sebuah paparan evaluasi ekonomi yang menyoroti kinerja 10 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Melalui sebuah diskusi daring yang ditayangkan di channel YouTube Awalil Rizky dan melalui siaran Zoom, Awalil mengangkat tema, “Jokowi Gagal di Bidang Ekonomi.” Selasa, (15/10/2024)

Dalam presentasinya, ia menguraikan sembilan kegagalan utama pemerintahan Jokowi yang menurutnya menjadi bukti bahwa kondisi ekonomi Indonesia selama satu dekade terakhir jauh dari target yang diharapkan.

Paparan Awalil Rizky tidak hanya merangkum angka dan data, tetapi juga menawarkan analisis kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap kurang berhasil.

9 Kegagalan Jokowi di Bidang Ekonomi

Berikut ini adalah sembilan kegagalan utama Jokowi dalam bidang ekonomi, berdasarkan data yang diungkap Awalil Rizky dalam acara tersebut:

1. Gagal Meningkatkan Laju Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan Jokowi pada awal kepemimpinannya tidak tercapai. Meski pada RPJMN 2015–2019, target pertumbuhan ekonomi berkisar antara 5% hingga 7%, realisasi di lapangan lebih rendah dari target.

Pada tahun 2019, laju pertumbuhan hanya mencapai 3,8%, jauh dari proyeksi ambisius 6,5%. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang diharapkan meningkat signifikan, juga gagal mencerminkan peningkatan yang signifikan.

Menurut Awalil, hal ini menunjukkan kegagalan fundamental dalam menciptakan ekonomi yang dinamis dan berdaya saing.

2. Gagal Membangun Struktur Ekonomi yang Kuat

Dalam paparan tersebut, Awalil Rizky juga mengungkap bahwa pemerintahan Jokowi gagal dalam membangun struktur ekonomi yang solid.

Fenomena deindustrialisasi dini atau premature deindustrialization semakin nyata, di mana kontribusi sektor industri terhadap PDB terus menurun.

Pada 2019, porsi sektor industri pengolahan hanya mencapai 19,7%, jauh di bawah target 21,60% yang diproyeksikan pada RPJMN 2015-2019.

Sementara pada periode 2020-2024, penurunan ini semakin diperparah dengan pandemi, dan kontribusi sektor industri stagnan pada angka sekitar 18,80% pada 2024.

3. Gagal Membangun Sektor Pertanian dan Ketahanan Pangan

Sektor pertanian, yang seharusnya menjadi tumpuan untuk ketahanan pangan, juga mengalami masalah serius.

Produksi pangan utama seperti padi, jagung, dan kedelai tidak mencapai target yang ditetapkan dalam RPJMN.

Sebagai contoh, produksi padi cenderung menurun, dan ketergantungan pada impor pangan meningkat.

Awalil mengingatkan bahwa ketahanan pangan nasional dalam dekade ini tidak menunjukkan perbaikan signifikan, bahkan justru menghadapi ancaman kerawanan pangan.

Kegagalan dalam membangun sektor pertanian ini menurutnya memperlemah posisi Indonesia dalam menghadapi tantangan krisis pangan global.

4. Gagal Mengatasi Masalah Ketenagakerjaan

Pada aspek ketenagakerjaan, Awalil Rizky mencatat bahwa tingkat pengangguran di Indonesia hanya sedikit mengalami penurunan selama era Jokowi, dan bahkan jumlah penganggur secara absolut mengalami kenaikan.

Sementara itu, tingkat kerentanan pekerja justru meningkat, terutama dengan banyaknya pekerja di sektor informal yang tidak mendapatkan jaminan sosial memadai.

Target penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang diharapkan turun ke angka di bawah 5% juga tidak tercapai, bahkan pada 2024, angka tersebut masih berkisar di atas 6%.

5. Gagal Mengurangi Kemiskinan dan Kesejahteraan Umum

Awalil juga menyoroti kegagalan pemerintah dalam mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan umum.

Memang benar bahwa tingkat kemiskinan telah sedikit berkurang, tetapi penurunan tersebut jauh dari target yang ditetapkan.

Jumlah penduduk miskin tidak menurun signifikan, dan yang lebih mengkhawatirkan, kelas menengah yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi justru menurun.

“Banyak masyarakat kelas menengah jatuh ke dalam kategori rentan miskin, atau bahkan miskin,” ujar Awalil.