Scroll untuk baca artikel
Berita

Utang Membengkak, Rupiah Terpuruk: Ekonom Bongkar Masalah Ekonomi Era Jokowi

Avatar
×

Utang Membengkak, Rupiah Terpuruk: Ekonom Bongkar Masalah Ekonomi Era Jokowi

Sebarkan artikel ini
Masalah Ekonomi Era Jokowi
Ilustrasi

Di akhir masa jabatannya, kebijakan ekonomi Presiden Jokowi menuai kritik tajam, dengan nilai tukar rupiah yang anjlok dan utang negara yang membengkak menjadi sorotan Utama

BARISAN.CO – Di penghujung masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, keberhasilan dan pencapaian di sektor ekonomi banyak diberitakan oleh berbagai media.

Namun, di sisi lain, sejumlah kritik keras juga dilontarkan oleh pengamat ekonomi mengenai kondisi riil yang dialami Indonesia.

Ekonom senior dan praktisi keuangan, Adrian Panggabean, memaparkan enam masalah utama yang terjadi selama satu dekade terakhir di bawah pemerintahan Jokowi, Sabtu (19/10/2024).

Kritik ini mencakup anjloknya nilai tukar rupiah, stagnasi pertumbuhan ekonomi, hingga meningkatnya utang negara.

Dalam pernyataan tertulis yang diterima Tempo pada Sabtu, 19 Oktober 2024, Adrian menyatakan bahwa selama 10 tahun terakhir, Indonesia tidak mampu memanfaatkan potensi ekonominya dengan optimal.

“Ada stagnasi, kemajuan kecil, bahkan ketidakmampuan memaksimalkan potensi yang ada,” ungkap Adrian. Berikut adalah enam poin utama kritiknya.

Adrian mengawali kritiknya dengan menyoroti pasar saham yang mencerminkan dinamika sektor keuangan dan sektor riil. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat Jokowi pertama kali menjabat pada Oktober 2014 berada di level 5.068.

Pada penutupan pekan ini, IHSG berada di level 7.760, yang menurut Adrian mencerminkan kurangnya daya tarik pasar saham selama periode tersebut. Kenaikan IHSG yang ada dinilai tidak signifikan dan tidak mencerminkan pertumbuhan sektor riil yang kuat.

Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia selama satu dekade terakhir juga menjadi perhatian. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 3,85 persen, jauh di bawah ekspektasi pemerintah.

Walaupun pandemi Covid-19 pada 2019 dan 2020 menghantam perekonomian global, hingga triwulan III tahun 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada di level 5,1 persen.

Adrian menilai angka ini tidak cukup kuat untuk menggerakkan ekonomi nasional secara signifikan.

Kritik ketiga Adrian adalah lemahnya perkembangan kredit di sektor perbankan. Ia mencatat bahwa meskipun suku bunga acuan turun sebesar 170 basis poin, suku bunga deposito di bank tetap tinggi, yang mengakibatkan perlambatan kredit.

Kondisi ini menunjukkan bahwa perbankan tidak berperan maksimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran kredit kepada sektor riil.

Adrian juga menyoroti stagnasi dalam rasio pajak. Selama sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi, rasio pajak Indonesia tidak menunjukkan peningkatan signifikan.

Rasio pajak yang stagnan ini mengindikasikan kurangnya optimalisasi penerimaan negara dari sektor pajak, yang seharusnya menjadi tulang punggung keuangan negara.

Nilai tukar rupiah menjadi salah satu masalah paling mencolok yang disorot Adrian. Selama satu dekade, rupiah terus terdepresiasi hingga menyentuh titik terendah sebesar Rp 17.000 per dolar AS, setelah sebelumnya sempat berada di level terkuat Rp 11.600 per dolar AS pada awal masa pemerintahan Jokowi.

Adrian menyebut depresiasi sebesar 40 persen ini sebagai salah satu penurunan terburuk dalam 25 tahun terakhir.

Adrian juga mengkritik peringkat utang Indonesia yang masih berada di level BBB menurut lembaga pemeringkat internasional.

Meskipun ini berarti Indonesia memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban keuangannya, status BBB menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia tetap rentan terhadap fluktuasi global.

Peringkat yang tidak meningkat selama sepuluh tahun terakhir ini mencerminkan kurangnya kemajuan dalam pengelolaan utang dan keuangan negara.

Meningkatnya Utang dan Lemahnya Cadangan Devisa

Kritik terhadap pengelolaan ekonomi Jokowi juga datang dari Awalil Rizky, ekonom dari Bright Institute.