Di balik semangat gotong royong koperasi, muncul kritik soal lemahnya perencanaan dan potensi risiko fiskal.
BARISAN.CO – Presiden Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan kelembagaan 80.081 Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih secara serentak di seluruh Indonesia.
Acara peluncuran berlangsung di Desa Bentangan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, dan dihadiri oleh para Menteri Kabinet Merah Putih serta kepala daerah, Senin (21/07/2025)
Dalam sambutannya, Presiden Prabowo menekankan pentingnya semangat gotong royong dalam pelaksanaan koperasi.
Ia menggambarkan koperasi sebagai seikat lidi yang menjadi kuat dan berfungsi optimal jika bersatu. Menurutnya, dengan jumlah yang besar, koperasi-koperasi ini akan menjadi kekuatan kolektif yang mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat dari tingkat desa dan kelurahan.
“Ke depan, saya berharap koperasi-koperasi ini mampu memperpendek rantai distribusi, memperlancar aliran bahan pokok, dan menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, termasuk obat-obatan, dengan harga terjangkau,” ujar Presiden Prabowo.
Ia menambahkan bahwa koperasi tidak hanya menjadi motor penggerak ekonomi lokal, tetapi juga alat kedaulatan ekonomi rakyat yang berpihak pada keadilan dan pemerataan.
Namun, peluncuran koperasi tersebut menuai kritik dari Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky. Ia menilai program ini tidak didasarkan pada kajian yang kuat dan dirancang secara tergesa-gesa.
“Koperasi Desa Merah Putih ini tidak direncanakan dengan baik. Tidak ada desain, tidak ada konsep yang disiapkan untuk mengatasi berbagai masalah. Bahkan, SOP-nya pun tidak jelas,” ujar Awalil.
Ia juga mengkritik pendekatan top-down dalam pembentukan koperasi, yang dinilai bertentangan dengan semangat koperasi sejati.
“Menurut tradisi koperasi, yang benar adalah dari bottom-up. Tapi ini dibentuk dari atas dan langsung dibebani usaha,” tambahnya.
Lebih lanjut, Awalil menyoroti skema bisnis koperasi yang mencakup penyaluran pupuk, gas melon, apotek, dan gudang penyimpanan, sebagai berisiko tinggi tanpa kajian risiko mendalam.
“Usaha-usaha itu pasti memiliki risiko. Tapi tidak ada analisis risiko. Ini membahayakan karena bisa berdampak langsung ke keuangan desa,” katanya.
Menurutnya, banyak pihak sempat menduga koperasi ini akan mendapat suntikan dana besar dari APBN hingga Rp5 miliar per unit. Namun kenyataannya, pendanaan justru mengandalkan Dana Desa yang sangat terbatas.
“Alokasi Dana Desa itu pun hanya mencukupi untuk fase pembentukan dan operasional awal. Kalau koperasi ini gagal, maka kerugiannya ditanggung Dana Desa. Ini sangat berisiko,” jelas Awalil.
Ia juga meragukan wacana dukungan pembiayaan dari bank-bank Himbara. Menurutnya, koperasi baru tidak akan mendapat pembiayaan tanpa jaminan kuat dan rekam jejak usaha yang kredibel.









