Ekonom Awalil Rizky menilai APBN 2026 justru menambah beban rakyat karena defisit melebar dan kebutuhan utang baru mencapai Rp1.400 triliun.
BARISAN.CO – Ekonom Awalil Rizky menilai postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 yang telah disepakati Panitia Kerja (Panja) DPR bersama pemerintah justru memperlihatkan beban fiskal yang semakin berat.
Hal itu ia sampaikan dalam sesi Asesmen di kanal YouTube miliknya yang menyoroti perkembangan terbaru pembahasan RAPBN 2026, Senin (22/09/2025).
Menurut Ekonom Bright Institute ini, meski pemerintah menyebut telah melakukan efisiensi, secara agregat belanja negara tetap mengalami kenaikan cukup signifikan.
Dari sisi pendapatan negara, target ditingkatkan sebesar Rp5,90 triliun. Namun, belanja justru bertambah lebih besar yakni Rp56,24 triliun.
Dengan demikian, defisit APBN melebar menjadi Rp50,34 triliun atau 2,68 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), naik dari 2,48 persen yang tercantum dalam RAPBN.
“Ini artinya pemerintah optimis pendapatannya bisa naik sekitar 10 persen dari outlook 2025. Padahal outlook 2025 sendiri hampir tidak mengalami kenaikan dibandingkan 2024,” ujar Awalil.
Ia menyoroti bahwa kenaikan belanja tersebut tidak menunjukkan adanya upaya serius untuk menahan pengeluaran. Defisit yang melebar, lanjutnya, membuat pemerintah merencanakan utang baru dalam jumlah besar.
“Bukan sekadar gali lubang tutup lubang, tapi gali lubang yang lebih besar untuk menutupi lubang lama,” tegasnya.
Awalil mengungkapkan, pembiayaan defisit sebagian besar akan ditutup dengan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto. Pemerintah diperkirakan akan menerbitkan surat utang baru senilai hampir Rp800 triliun pada 2026.
Jika dihitung bersama kebutuhan pelunasan utang jatuh tempo sekitar Rp600 triliun, maka total penerbitan SBN bisa mencapai Rp1.400 triliun.
“Rencana berutang itu menciptakan beban fiskal yang lumayan berat. Dan jangan lupa, membayar bunga juga dilakukan dengan utang baru. Ini membuat keseimbangan primer kembali negatif,” kata dia.
Dari sisi pendapatan negara, ia menjelaskan mayoritas target perpajakan tetap, kecuali pada cukai yang justru ditingkatkan.
Pemerintah berencana menambah penerimaan dari cukai hasil tembakau dan memperkenalkan cukai baru atas minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Sementara itu, dari sisi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kenaikan terbesar justru dibebankan kepada Polri.
Awalil menyebut target PNBP Polri naik sekitar Rp3 triliun, antara lain melalui sistem tilang elektronik berbasis CCTV.
Selain Polri, kenaikan juga terjadi pada Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perhubungan, serta Badan Pertanahan Nasional (BPN).







